Oleh A Kardiyat Wiharyanto
Suara Karya: Kamis, (17-02-'05)
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung tinggal beberapa bulan lagi. Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pilkada yang akan menjelaskan mengenai mekanisme penyelenggaraannya pun bahkan telah dikeluarkan. Yang jadi masalah, bagaimana implementasi dalam pelaksanaan Pilkada secara langsung di lapangan nanti? Mengingat berbagai hambatan yang bisa muncul -- terkait dengan kesiapan daerah menyambut era pemilihan kepala daerah secara langsung itu -- mungkinkah Pilkada mendatang benar-benar akan terpasung?
Berita mengenai pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung memang sudah sering kita dengar, namun rakyat pada umumnya belum memahami makna dan hakikat pemilihan kepala daerah secara langsung itu. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung itu tidak jauh berbeda dengan pemilihan kepala desa yang selama ini sudah dilakukan secara langsung pula.
Dalam pemilihan kepala desa, keterlibatan partai politik (parpol) tidak begitu tampak. Hal ini sangat berbeda dengan Pilkada. Menjelang Pilkada langsung saat ini, parpol besar sudah mulai mempersiapkan diri. Dalam hal ini, parpol besar atau koalisi beberapa parpol bisa mengajukan calonnya. Atau sebaliknya, calon kepala daerah memanfaatkan partai besar sebagai kendaraan menuju kursi kepala daerah.
Sebelum reformasi, jabatan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) bukan hak rakyat tetapi hak penguasa. Walaupun ada mekanisme beberapa calon dikirim ke Pusat, namun hanya orang yang dikehendaki Pusat yang berhasil menduduki kursi kepala daerah itu. Orang-orang yang kritis (vokal) terhadap pemerintah Pusat, jarang mampu merebut kursi kepala daerah itu.
Berbicara tentang calon yang dikehendaki oleh pemerintah Pusat, bisa karena kadar kepartaiannya yang tinggi, namun juga bisa jadi karena bisa "mengambil hati" atasan sebagai suatu persembahan. Persembahan semacam itu bahkan sering dilegalkan. Makin tinggi jabatan yang yang akan diraih maka makin besar pula persembahan yang diserahkan.
Setelah Orde Baru runtuh, kaum reformis di negeri ini berkehendak mengubah paradigma kekuasaan itu, namun dalam praktiknya sampai saat ini masih sangat jauh dari harapan. Pada era reformasi, kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD sebagai pelaksanaan UU No 22/1999. Dalam proses pemilihan kepala daerah itu, tidak terhindarkan adanya persembahan kepada para anggota legislatif itu. Kondisi tersebut jelas tidak memungkinkan memilih kepala daerah yang bersih, jujur, dan berkualitas. Namun sebaliknya, hanya mereka yang tebal sakunya saja yang mampu berhasil meraih kursi kepada daerah itu.
Tampaknya, 'pemerasan" terhadap calon kepala daerah itu tidak berhenti di situ. Setelah menjadi kepala daerah, maka setiap melakukan laporan pertanggungjawaban, praktik-praktik seperti itu terulang kembali. Karena itu tidak mengherankan agar laporan tersebut bisa diterima dengan mulus oleh legislatif, maka tidak sedikit pula kepala daerah yang memberikan persembahan.
Menyadari berbagai kelemahan sistem Pilkada yang lalu itu, pemerintah mengeluarkan UU No 32/2004. Dengan UU tersebut, pemilihan kepala daerah akan dilaksanakan secara langsung. Dalam kaitan itu, rakyat mempunyai kedaulatan langsung untuk menentukan siapa yang pantas menjadi kepala daerah.
Jika dilihat lebih jauh, proses pelaksanaan kepala daerah langsung berdasarkan UU No 32/2004, tidak akan berpengaruh banyak terhadap penghapusan praktik-praktik penyimpangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seperti telah terjadi sampai saat ini.
Pada waktu pemilihan kepala daerah, legislatif memang tidak lagi berperan. Tetapi, hal itu tidak ada pengaruhnya, karena pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran tetap unit-unit instansi pemerintah dengan anggota legislatif (DPRD).
Di samping itu, faktor lain yang menyebabkan Pilkada langsung tidak berpengaruh banyak adalah tidak adanya mekanisme bagi pemilih untuk mencopot kepala daerah yang ingkar janjinya. Tidak jarang kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat itu justru menindas rakyat. Itu berarti bukan kedaulatan rakyat lagi tetapi kedaulatan kepala daerah.
Karena rakyat tidak bisa mengontrol, maka tidak mustahil kepala daerah tetap menggunakan cara-cara lama yang menguntungkan pejabat. Selama ini praktik penyimpangan APBD sudah meluas di mana-mana, terutama dalam penerapan Peraturan Pemerintah No 10/2000 tentang Keuangan Dewan.
Dalam kaitan tersebut, maka terlihat adanya penggelembungan anggaran pesangon, biaya perumahan dan tunjangan hari raya. Sedangkan anggaran berbasis kinerja tidak diterapkan karena prasyarat politik yang diperlukan tidak tercapai. Dengan demikian Pilkada langsung tidak menjamin untuk menghapus penyimpangan-penyimpangan seperti yang terjadi selama ini.
Sesungguhnya ada alokasi dana yang terkait dengan pengawasan atau kontrol politik, baik dari legislatif maupun dari masyarakat ke pemerintah daerah. Anggaran tersebut perlu disosialisasikan agar bisa digunakan untuk melakukan kontrol terhadap ekskutif. Selama ini anggaran semacam itu cenderung malah digunakan untuk kepentingan pejabat.
Sementara itu Pilkada langsung juga bukan jaminan akan berhasil memilih pemimpin yang memiliki visi, misi, kompetensi dan moralitas untuk membangun daerah. Kepala daerah seperti itu cenderung hanya peduli untuk membuat kebijakan-kebijakan yang bersifat populis, tanpa menyentuh esensi persoalan, dan sekadar memikirkan pencitraan diri.
Kondisi semacam itu sudah berlangsung selama ini. Inilah trauma sejarah kekuasaan yang sangat serius mengendap dalam luka batin masyarakat. Untuk menghapuskan, dibutuhkan kesadaran politik masyarakat agar mampu menjatuhkan pilihannya secara tepat. Menjelang pelaksanaan Pilkada langsung di negeri ini, satu persoalan pokok yang tak bisa ditawar oleh para calon kepala daerah mana pun adalah berkaca diri pada keadaan. Untuk membenahi keadaan yang rusak seperti sekarang ini dibutuhkan tokoh yang sungguh-sungguh berjiwa negarawan, sehingga bisa berlaku adil dan bijaksana.
Calon kepala daerah yang memiliki wawasan yang luas itu bisa saja karena dukungan dari organisasi keagamaan, organisasi adat, organisasi bisnis yang kuat, ataupun dari anggota partai politik. Calon tersebut memang memiliki pengalaman berorganisasi dan keuletannya teruji. Namun di sisi lain, tidak sedikit calon tersebut setelah terpilih sebagai kepala daerah tetap berpikir sektarian, meski tidak transparan. Hal ini juga akan menjadi batu sandungan dalam mengendalikan roda pemerintahan.
Tokoh-tokoh yang berhati "serigala", berjiwa sektarian, dukungan dari para preman dan kelompok mafia lainnya, lebih aman kalau tidak ikut mencalonkan diri. Walaupun tokoh-tokoh seperti itu memang ada yang bisa terpilih untuk menduduki kursi kepala daerah, tetapi rakyatlah yang akan menjadi korban.
Kiranya hanya rakyat yang sudah memiliki kesadaran politik yang tinggi saja yang bisa bisa memahami kelemahan-kelemahan Pilkada langsung, sehingga tidak terjebak lagi pada praktik-praktik lama yang menyakitkan hati rakyat. Di sisi lain, sebagian besar rakyat yang merupakan massa mengambang, belum mampu menggunakan hak pilihnya sesuai dengan suara hati nuraninya. Di sinilah letak keterpasungan dalam Pilkada itu.
Untuk menghindari keterpasungan demokrasi dalam Pilkada mendatang, pemerintah harus rajin mensosialisasikan secara tepat, teknis dan makna Pilkada mendatang. Oleh karena itu PP yang terkait dengan Pilkada tersebut harus segera disosialisasikan pula.
Mudah-mudahan tidak ada lagi permainan dari pihak mana pun dalam proses Pilkada mendatang. Untuk mengantisipasi ketidakjujuran, rakyat harus semakin memiliki kesadaran politik, serta mampu menggunakan hak pilihnya secara tepat. Hanya dengan itu rakyat akan mampu merubah paradigma kekuasaan di negeri ini. ***
(Drs A Kardiyat Wiharyanto, MM dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar