Oleh
Mohamad Juri, S.Pd.,MMPd
( Guru di Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Jawa Timur )
Pengetahuan dan pemahaman terhadap suatu daerah termasuk asal usulnya sangatlah diperlukan. Demikian halnya dengan penulis ingin rasanya berbagi  pengetahuan terutama terhadap generasi muda di Madura pada khususnya, dan semua  pembaca pada  umumnya    sehingga  para generasi muda paham dengan akar budayanya  sendiri. Terutama sejarah tanah madura. Penulis menyadari  sejarah suatu daerah kadang kala  terdapat  perbedaan –perbedaan antara suatu sumber dengan sumber lainnya. Namun perbedaan tersebut janganlah justru dijadikan  bahan pertentangan, malah sebaiknya dijadikan wahana yang dapat memperkaya wawasan. 
Dari sumber-sumber babad tanah Madura dikisahkan bahwa Pulau Madura pada  zaman dahulu oleh para pengarung lautan hanya terlihat sebagai puncak-puncak tanah yang tinggi ( sekarang menjadi bukit-bukit ), dan beberapa dataran yang  ketika air laut surut dataran tersebut terlihat, sedangkan apabila laut pasang dataran tersebut tidak tampak ( di bawah permukaan air ).  Puncak-puncak yang terlihat tersebut  diantaranya sekarang disebut Gunung Geger di Kabupaten Bangkalan dan  Gunung Pajudan  di kabupaten Sumenep.  
Sejarah tanah Madura  tidak terlepas dengan sejarah atau kejadian yang terjadi di tanah Jawa.  Diceritakan bahwa pada suatu masa di  pulau Jawa  berdiri suatu kerajaan bernama Medangkamulan, di dalam kotanya ada sebuak keraton yang bernama keraton Giling wesi, rajanya bernama Sangyangtunggal ( menurut pendapat sebagian besar orang Madura tempat tersebut berada di sekitar Gunung Semeru atau sekitar gunung Bromo). Kala itu sekitar tahun 929 Masehi.  Pendapat lain menyatakan bahwa kerajaan tersebut  adalah kerajaan “Medang “ bukan  “ Medangkamulan”  mana yang benar tentu, memerlukan pembuktian secara ilmiah.  Peristiwa ini terjadi tatkala baru terjadi letusan gunung  berapi di tempat tersebut jadi sekitar tahun 929 M. Dikisahkan bahwa  sang raja memiliki seorang anak gadis. Suatu ketika gadis tersebut bermimpi kemasukan rembulan ke dalam tubuhnya. Beberapa saat kemudian ternyata gadis tersebut hamil. Sang raja ( ayahandanya) selalu menanyakan siapa yang menghamilinya, namun gadis tersebut tidak menjawab.  Akhirnya raja menjadi marah dan memanggil patihnya yang bernama Pranggulang. Raja memerintahkan supaya anak gadisnya dibunuh dan kepalanya disuruh dibawa kembali kepada raja. Apabila patih tidah dapat  menunjukkan kepala tersebut ia tidak boleh kembali ke kerajaan dan jabatannya sebagai patih diberhentikan. Patih menyanggupi perintah raja dan membawa gadis tersebut ke sebuah hutan. Sesampainya di hutan patih Pranggulang menghunus pedang dan bermaksud memenggal kepala si gadis, namun suatu keanehan terjadi, yaitu ketika  sang pedang  mendekati leher si gadis pedang tersebut terjatuh dari tangan sang patih. Sang pating mengulanginya lagi untuk memenggal leher si gadis namun lagi-lagi terjadi  seperti hal sebelunya, yaitu pedang terlepas dari tangan sang patih dan jatuh ke tanah.  Sang patih masih berusaha mengulanginya sampai tiga kali, namun pada kali yang ketiga karena masih terjadi terjadi hal yang sama dengan dengan kejadian sebelunnya  Sang Patih akhirnya  duduk termenung dan berfikiran bahwa kehamilan sang gadis tentulah  bukan karena kesalahan si gadis, tetapi disebabkan oleh hal yang luar biasa.  Akhirnya sang patih mengalah untuk tidak kembali ke kerajaan, dan mulai saat itu sang  patih berganti nama menjadi ” kyai Poleng ”, ( poleng artinya kain tenonan Madura ). Iapun merubah pakaiannya yaitu memakai kain, baju, dan ikat kepala dari kain poleng.  Selanjutnya ia memotong kayu-kayu di hutan dan dibawa ke pantai dirakit menjadi ghitek ( jawa=getek). 
Sang gadis oleh kyai Poleng didudukkan di atas ghitek di tepi pantai dan Kyai Poleng  menendang ghitek tersebut menuju madu oro’ ( pojok di ara-ara artinya pojok menuju ke arah yang luas).  Hal inilah yang menurut sebagian pendapat menjadi asul-usul nama ” Madura ”.  Pendapat lain mengatakan bahwa nama Madura berasal dari kata ” Lemah Dhuro”  artinya  tanah yang tidak sesungguhnya, yaitu apabila air laut surut tanahnya terlihat, tetapi bila air pasang tanahnya tidak terlihat.   Alkisah bahwa ghitek tersebut terdampar di suatu tempat yang saat ini tempat tersebut disebut Gunung Geger ( Disinilah asalnya tanah Madura ).  Sebelum sang gadis diberangkatkan  kyai Poleng berpesan  jika membutuhkan pertolongan atau apa saja, maka sang Gadis di suruh menghentakkan kakinya ke tanah tiga kali, maka saat itu pula kyai poleng akan datang menolongnya.  Sesampainya di Gunung Geger gadis tersebut duduk di bawah pohon pelasa ( ploso=jawa , suatu pohon berdaun halus yang saat ini mulai sukar ditemukan kebanyakan orang Madura menjadikan daunnya untuk pembungkus petis). 
Suatu ketika sang gadis merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya, diapun menjejakkan kakinya tiga kali ke tanah dan kyai polengpun datang. Ternyata sang gadis mau melahirkan. Akhirnya saat itu pula lahirlah seorang bayi laki-laki yang roman mukanya amat rupawan.  Bayi tersebut diberi nama ”Raden Sagoro ” ( sagoro=laut ).  Keluarga inilah yang menurut beberapa pendapat menjadi cikal-bakal penduduk Madura. Setelah sang bayi lahir Kyai Poleng akhirnya menghilang namun pada saat-saat tertentu masih mendatangi keluarga tersebut.  
Diceritakan bahwa perahu-perahu para pedagang  yang berlayar dari beberapa pulau di Indonesia,  ketika berlayar malam hari sekitar tempat tinggal Raden Segoro, mereka sering melihat cahaya yang terang benderang seperti cahaya rembulan. Sehingga merekapun berkata apabila maksud pelayaran mereka terkabul, maka akan berhenti (berlabuh) di tempat itu ( Geger ) dan akan mengadakan selamatan dan memberi hadiah kepada yang bercahaya tersebut.  Sehingga pada akhirnya tempat tersebut   sering kedatangan para tamu ( pelayar ) yang terkabul maksudnya.  Dan Raden Segoro beserta ibunyalah yang menerima hadiah-hadiah tersebut, karena disitu hanya tinggal seorang ibu dengan anaknya.
Ketika Raden Segoro berumur sekitar dua tahun, dia sering bermain ke pantai, hingga suatu ketika dari arah laut  datanglah dua ekor ular naga  yang amat besar mendekatinya. Dengan penuh ketakutan dia berlari kepada ibunya, sambil menangis dan menceritakan kejadian tersebut. Sang ibupun memanggil Kyai Poleng. Kejadian tersebut diceritakan kepada Kyai Poleng. Setelah mendengar cerita tersebut Kyai Poleng mengajak Raden Segoro bermain-main menuju pantai.  Tak lama kemudian datanglah dari arah laut dua ekor ular raksasa. Kyai poleng menyuruh Raden Segoro menangkap dua ekor ulartersebut dan membantingnya ke tanah. Akan tetapi Raden Segoro tidak mematuhinya karena takut. Namun setelah dipaksa Raden Segoro  menangkap dua ular raksasa itu dan membantingnya ke tanah. Seketika itu pula ular tersebut  berubah menjadi dua bilah tombak.  Raden Segoro memberikan tombak tersebut kepada Kyai Poleng, dan oleh kyai poleng dibawa ke Ibu Raden Segoro. Tombak tersebut diberi nama Kyai(si) Nenggolo, dan kyai (si) Aluquro.  Kyai Poleng memberi tahu bahwa  Kyai Aluquro untuk di simpan di dalam rumah dan Kyai Nenggolo untuk dibawa  ketika bereperang. Kyai Poleng menceritakan asal –usul dua senjata pusaka tersebut kepada Raden Segoro dan ibunya.  Pada zaman dahulu tanah Jawa ini kosong( tidak berpenduduk). Setelah Raja Room mengetahui hal tersebut dia mengutus panglimanya untuk  menyelidiki tanah ini. Apabila tanahnya makmur diperintahkan supaya beberapa keluarga Negeri Room ditempatkan di sana. Setelah diperiksa ternyata tanah Jawa ini amat makmur. Keadaan ini akhirnya beberapa keluarga dari Negeri Room ditempatkan di sana.  Namun beberapa saat setelah tinggal di tanah Jawa keluarga tersebut seluruhnya sakit dan mati. Disamping itu diceritakan pula bahwa Pulau Jawa saat itu  menjadi sarang beberapa hantu yang suka makan manusia.  Oleh karenanya Raja Room memerintahkan supaya empat penjuru dari tanah Jawa Supaya dipasang  senjata pada tiap-tiap pojok, yaitu: Di bagian selatan ditanam Pedang Suduk,  Sebelah barat  bagian utara ditanam Tombak Kyai Nenggolo,   Sebelah timur bagian utara ditanam pedang Suduk, dan sebelah timur bagian selatan ditanam Tombak Kyai Aluquro.  Setelah itu baru keluarga dari Negeri Room dipindah ke tanah Jawa hidup dan bercocok tanam di sana. 
Diceritakan pula bahwa ketika Raden Segoro berumur 7 tahun, tempat kediamannya pindah dari Gunong Geger ke Desa Nepa.  Nama Nepa  berasal dari nama pohon yaitu pohon Nepa, disebut pula pohon bunyok, mirip pohonkelapa  tetapi tidak sebesar pohon kelapa, daunnya dapat dijadikan atap rumah, dan daun yang masih muda dapat dijadikan pembungkus rokok. Wilayah Desa Nepa saat ini termasuk wilayah kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang, dan termasuk salah satu tempat Rekreasi karena di sana banyak kera. 
Pada saat Kerajaan Medangkamulan diperintah Sangyangtunggal, berkali –kali diserang  musuh yang  berasal dari negeri Cina. Akibat peperangan ini rakyat Medangkamulan hampir habis dibunuh musuh.  Dalam keadaan susah dan bingung Raja Sangyangtunggal memohon kepada Yang Maha Kuasa supaya diberi pertolongan.  Akhirnya pada suatu malam rajapun bermimpi bertemu dengan seorang tua yang berkata bahwa di sebuah pulau yang bernama  Madu Oro ( Lemah Duro = Madura ) terdapat  anak muda bernama Raden Segoro, raja disuruh minta pertolongan kepada  Raden Segoro bila  ingin menang perang. Keesokan harinya raja memerintahkan patihnya untuk membawa beberapa perahu dan prajurit  untuk meminta pertolongan Raden Segoro.  Sesampainya di tanah Madura  pada awalnya prajurit Medangkemulan ini  ingin membawa paksa  Raden Segoro ke perahu, namun disitu terjadi keanehan yaitu para prajurit itu seluruhnya lumpuh tidak punya daya dan terjadi tiupang angin yang sangat kencang yang ingin menenggelamkan perahu-perahu itu. Kejadian tersebut  akhirnya patih Kerajaan Medangkamulan minta ampun kepada Raden Segoro dan ibunya. Ibu Raden Segoro selanjutnya memanggil Kyai Poleng.  Kyai Poleng datang dan matur kepada ibu Raden Segoro supaya Raden Segoro bisa di bawa ke Kerajaan Medangkamulan untuk membantu peperangan  melawan tentara Cina. Raden Segoropun berangkat bersama rombongan itu dengan membawa pusaka tombak Kyai Nenggolo.  Kyai polengpun ikut serta, tetapi tidak menampakkan diri kepada orang lain, selain Raden Segoro.
Sesampainya di Kerajaan Medangkemulan peperangan dengan tentara Cinapun  tidak dapat dielakkan Raden Segoro bertempur luar biasa dengan didampingi Kyai Poleng.  Dengan menunjuk saja  tombak  Kyai Nenggolo ke arah musuh, musuhpun menjadi sakit secara mendadak, dan akhirnya berusaha meninggalkan kerajaan Medangkemulan dan sebagian besar mati.  Dengan kemenangan tersebut raja membuat pesta besar-besaran  dan memberi penghormatan kepada Raden Segoro.  Raden Segoro juga diberi gelar  ” Tumenggung Gemet ” oleh raja Medangkamulan. 
Raja Medangkamulan berkeinginan  untuk menjadikan Raden Segoro sebagai menantu, dan mengantarkannya  diiringi sang patih dan prajurit pilihan. Desertai pula surat ucapan terima kasih kepada ibu Raden Segoro. Raja bertanya kepada Raden Segoro tentang siapa nama  ayah Raden Segoro, maka Raden Segoro pun menjawab bahwa masih akan menanyakan hal tersebut kepada ibunya. Sesampainya di Nepa ketika para prajurit yang mengantarkan telah pulang, Raden Segoro bertanya kepada ibunya, tentang siapa nama ayahnya. Sang ibu sangat kebingungan harus menjawab apa, namun sang ibu menjawab bahwa ayahnya seorang siluman.  Maka seketika itu pula ibu, Raden Segoro, dan rumahnya (Keraton Nepa) lenyap.  
Demikian Riwayat asal mula penduduk tanah Madura. Hikmah dari cerita ini oleh para  tetua di Madura dikesankan bahwa Raden Segoro membalas hutang eyangnya  yang menghinakan ibunya dan membuang ibunya dengan pembalasan yang baik, yaitu membantu memenangkan peperangan. Selanjutnya diceritakan bahwa raden Segoro sebagai  orang siluman  dikemudian hari beristri Nyi Roro Kidul. 
Dikisahkan pula beberapa tahun kemudian  senjata Kyai Nenggolo dan Kyai Aluquro oleh Raden Segoro diberikan kepada Pengeran Demang  Palakaran ( Kyai Demong ) Bupati  Arosbaya ( Bangkalan ).  Hingga saat ini kedua tombak pusaka  tersebut masih  menjadi tombak pusaka Bangkalan.  Juga menurut keparcayaan orang tua –tua   Kyai poleng menjadi pembantu Pangeran Demang Palakaran dan keturunnya.
  Demikian cerita tentang  riwayat  Madura di masa lampau yang diceritakan dari mulut ke mulut  oleh para orang tua-tua di Madura kepada keturunannya hingga kini.  Semoga hal ini  dapat menambah wawasan  anak-anak saya, saudara –saudara saya tentang riwayat tanah leluhornya. 
Dicetakan kembali dengan sedikit penyesuain kata-kata.
Oleh : Mohamad Juri, S.Pd.,MMPd
          Guru di kecamatan Omben Kabupaten Sampang.
Sumber Pustaka:  ” Sejarah Permulaan Jadinya Pulau Madura ”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar