Senin, 31 Januari 2011

PEMERINTAH PATOK 20 PERSEN DANA BOS UNTUK GURU

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia, Sulistio menyatakan ada kegelisahan mendalam diantara para guru honorer saat ini. Pasalnya Pemerintah mematok dana kegiatan untuk guru dan administrasi maksimal 20 persen.

’’Ada ketentuan BOS yang menyatakan dana kegiatan guru dan tenaga administrasi maksimal 20 persen, tapi saat ini banyak sekolah yang masih menggunakan guru-guru honorer,’’ paparnya ketika dihubungi Republika, Senin (31/1).

Menurut anggota Dewan Perwakilan Daerah dapil Jawa Tengah ini, dampak yang bisa terjadi atas keputusan ini, sekolah khususnya swastajadi berpikir untuk mengurangi jumlah guru honorer. Sehingga banyak guru honorer terancam menjadi pengangguran. ’’Banyak sekali guru honorer, jadi harusnya peraturan jangan sekaku itu,’’ paparnya.

Lagipula, menurutnya, banyak sekolah yang masih membutuhkan guru honorer. Guru-guru honorer inipun sebenarnya bekerja hampir sama beratnya dengan guru negeri (PNS). ’’ banya Perlindungan profesi salah satunya upah yang wajar terutama guru honor dan swasta kerja penuh tapi ga serius diatur,’’ ucapnya.

Ditempat lain, Wakil Menteri Pendidikan Fasli Jalal menyatakan, memang ada pembatasan maksimal 20 persen untuk kegiatan guru dan tenaga admnistrasi. Pembatasan ini dilakukan agar penggunaan dana BOS tidak terkendala berbagai hal, contohnya kekurangan dana. ’’Jadi sebenarnya begini untuk kegiatan operasional sekolah ada anggaran untuk gaji dan non gaji, yang disebut BOS itu ialah non-gaji,’’ paparnya.

Ia mengakui kenyataan di lapangan, kadang dana BOS itu digunakan untuk membiayai guru honorer, begitu juga disekolah swasta. Akan tetapi kadang hal itu malah kebablasan. ’’Kalau sekolah swasta memang tidak ada pembatasan karena biasanya dana BOS dipakai untuk gaji guru,’’ urainya.

Ia pun menilai, guru-guru honorer tak perlu khawatir, karena saat ini aturan untuk pegawai non PNS yang dibayar honorarium masih terus dibicarakan. ’’Jadi ada cara untuk membayar gaji guru honorer tanpoa menggunakan dana BOS,’’ ucapnya.

Sebagai informasi pengaturan ini ada di petunjuk teknis penggunaan dana BOS tahun 2011. Pada halaman 19 berbunyi, maksimum penggunaan dana untuk belanja pegawai bagi sekolah negeri sebesar 20 persen. Penggunaan dana untuk honorarium guru honorer di sekola agar mempertimbamngkan rasio jumlah siswa dan guru sesuai dengan ketentuan pemerintah yang ada dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no.15 tahun 2010 tentang SPM Pendidikan Dasar di kabupaten/kota.

SOSIALISASI JADWAL UJIAN NASIONAL TAHUN 2011

Pemerintah mengimbau agar dinas pendidikan di sejumlah daerah segera mengumumkan dan melakukan sosialisasi jadwal pelaksanaan ujian nasional ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.
UN untuk jenjang sekolah menengah atas akan dilaksanakan pada 18-21 April 2011. Sementara UN untuk jenjang sekolah menengah pertama tanggal 25-28 April 2011 dan UN jenjang sekolah dasar tanggal 10-12 Mei 2011.
Hal itu dikemukakan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, Senin (17/1) di Jakarta. ”Kami telah menyosialisasikan ketentuan tentang UN ini kepada seluruh dinas-dinas pendidikan sejak 28 Desember lalu. Harapannya, mereka sudah menyampaikan juga ke sekolah-sekolah. Kepala sekolah pasti sudah tahu karena sosialisasi juga melalui media massa. UN kan bukan perkara baru. Sudah langganan setiap tahun,” ujarnya.
Namun, anggota Komisi X DPR, Vena Melinda, menuturkan, banyak guru dan sekolah yang mengaku belum mengetahui jadwal UN dan masih menunggu kepastian dari pemerintah. ”Harus dipastikan apakah semua sekolah sudah terima pengumuman ini agar mereka bisa segera mempersiapkan diri,” ujarnya.
Berbeda dengan tahun lalu, kelulusan siswa tahun ini ditentukan oleh nilai gabungan antara nilai sekolah (dari hasil ujian sekolah dan nilai rata-rata rapor) dan hasil UN. Siswa akan lulus UN jika nilai rata-rata dari semua nilai akhir paling rendah 5,5 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0. ”Nilai sekolah harus dikirimkan ke pusat seminggu sebelum pelaksanaan UN,” kata Nuh.
Dalam rapat kerja itu, anggota Komisi X DPR, Raihan Iskandar, mengingatkan agar UN tidak menjadi ukuran atau penentuan kualitas pendidikan apalagi penentuan kualitas hasil belajar siswa. Alasannya, penentuan kualitas pendidikan itu bukan hanya dilihat dari kualitas kemampuan siswa, melainkan juga kualitas guru.
”Hasil UN yang rendah juga menunjukkan kualitas guru yang rendah. Karena itu, harus ada peningkatan kualitas guru terutama guru di daerah,” ujarnya.

Jumat, 21 Januari 2011

Pendekatan Postmodernisme dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Kaitannya dengan Positivisme dan Antipositivisme

Oleh: Irman Yusron (Staf Datin, P4TK IPA Bandung)

Untuk menguaraikan penedekatan posmodermisme dalam ilmu sosial dan kaitannya dengan positivisme dan antipositivisme, dalam tulisan ini penulis membagi menjadi empat bagian. Pada bagian pertama, penulis menguraikan tentang asal-usul pemikiran positivisme, termasuk apa dan bagaimana positivisme itu. Pada bagian dua, penulis menguraikan bagaimana pemikiran positivisme itu dikritik oleh beberapa orang pemikir, dimana mereka dapat digolongkan ke dalam paham antipositivisme. Bagian tiga, penulis menguraikan bagaimana paham postmodernisme berkembang sebagai kritik terhadap positivisme. Bagian empat, penulis memberikan kesimpulan terhadap uraian pada bagian satu sampai bagian tiga, sekaligus memberikan pendapat terhadap pertanyaan yang diajukan pada judul tulisan ini.



1. Apa dan Bagaimana Positivisme

Positivisme sebagai suatu pendekatan, cara pandang, perspektif, paradigma, ataupun filsafat ilmu, telah memberikan banyak warna yang khas dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial. Padahal, pada awalnya positivisme digunakan untuk menjelaskan gejalan-gejalan alam melalui penelitian empirik. Penganut positivis memiliki pemahaman bahwa gejala alam dapat diukur melalui metode-metode penelitian emprik, sehingga melalui penelitian tersebut didapat hukum-hukum kehidupan (hukum-hukum alam). Hukum-hukum alam tersebut menurut positivisme, hanya merupakan pernyataan keteraturan hubungan yang terdapat di antara gejala-gejala empiris (Hasbiansyah, 2000). Untuk menemukan hukum-hukum alam, maka ilmu pengetahuan disusun secara sistematis untuk mengumpulkan data-data empiris. Alam, sebagai objek kajian pemikir positivisme, tidak hanya terbatas pada lingkungan fisik seperti langit, bintang, bulan, bumi, angin, air, dan sejenisnya. Akan tetapi, manusia dan kehidupannya pun dijadikan objek penelitian, karena manusia dianggap bagian dari alam. Positivisme lebih dikenal sebagai cara pandang ilmu alamiah.

Menurut Hasbiansyah (2000), perintis positivisme adalah August Comte (1798-1857). Comte berpendapat bahwa melalui positivismelah ilmu pengetahuan dikembangkan secara ilmiah. Comte telah membagi sejarah ilmu pengetahuan dalam tiga tahapan perkembangan intelektual manusia. Tahap pertama, menurut Comte adalah tahap teologis (theological), terjadi sebelum tahun 1300 M. Pada tahap ini, manusia menafsirkan gejala-gejala disekitarnya secara teologis dengan kekuatan roh dewa atau tuhan. Semua fenomena yang ada dan yang terjadi dalam kehidupan, selalu dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan gaib (supranatural) yang dianggap sebagai hasil tindakan langsung dari roh dewa atau tuhan. Misalnya, gunung meletus dianggap sebagai murka dewa, atau hujan turun dianggap bahwa dewa sedang berbelas kasih. Pengetahuan pada tahap ini dipandang sebagai hal yang absolut.

Tahun 1300 – 1800 M merupakan tahap kedua. Oleh Comte disebut tahap metafisis (metaphysical). Pada tahap ini, manusia menganggap di dalam setiap gejala alam yang terjadi, terdapat kekuatan-kekuatan abstrak yang dapat diungkapkan. Hampir sama dengan tahapan pertama, manusia tidak memiliki kemampuan untuk mencari sebab akibat dari gejala alam yang terjadi tersebut. Perbedaannya adalah terhadap cara pandang pada gejala alam, dimana pada tahap kedua ini suatu fenomena dipandang sebagai manifestasi dari suatu hukum alam yang tidak berubah. Sebagai contoh, bila melihat awan berwarna hitam, maka akan turun hujan. Pengetahuan ini disimpan dalam benak manusia, karena berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang, apabila awan berwarna hitam maka pertanda akan turun hujan. Akan tetapi, pada pemikiran manusia tahap ini belum mampu menjelaskan mengapa terjadi demikian.

Tahap ketiga terjadi mulai tahun 1800 M. Tahap ini disebut tahap positif (positivistic). Pada tahap ini, manusia telah mampu bepikir dan mampu mencari hukum-hukum sebab-akibat terhadap alam semesta dan kehidupan manusia. Apa yang diketahui manusia semuanya berasal dari pengalaman inderawi (data empiris). Inilah yang disebut positivisme.

Menurut bahasa (semantis), postivisme berasal dari kata positif (positive). Istilah positif oleh Comte diartikan sebagai “apa yang berdasarkan fakta”. Positivisme selalu menekankan bahwa pengetahuan itu tidak boleh melebihi fakta (Hasbiansyah, 2000).

Selanjutnya Comte memberikan lima arti terhadap kata “positif” atau positivisme, yaitu:

Ø Positif dalam arti “yang nyata”. Semua pengetahuan harus terbukti melalui rasa kepastian pengamatan sistematis yang menjamin intersubjektivitas.

Ø Positif dalam arti “yang pasti”. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian. Keshahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode.

Ø Positif dalam “yang tepat”. Ketepatan pengetahuan kita dijamin oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh, yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum.

Ø Positif dalam arti “yang berguna”. Pengetahuan ilmiah harus digunakan secara teknis. Ilmu pengetahuan memungkinkan kontrol teknis atas proses-proses alam maupun sosial.

Ø Positif dalam arti “yang mengklaim memiliki kebenaran relatif”. Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan ‘sifat relatif dari semangat positif’ (Hasbiansyah, 2000) .

Menurut Jalaluddin Rakhmat, seperti yang dikutip Hasbiansyah (2000), positivisme dapat diidentifikasi melalui lima asumsi dasarnya, yaitu:

v Realisme naif atau istilah lainnya adalah objektivisme. Realisme naif mengandung arti berarti bahwa positivisme dibangun di atas pandangan asumsi ontologis, yaitu mengenai realitas tunggal dan objektif. Realitas dapat dipecah menjadi bagian-bagian kecil yang dapat diteliti secara terpisah.

v Dualisme peneliti-objek. Yaitu peneliti dan yang diteliti. Bagi positivisme peneliti dan yang diteliti merupakan dua hal yang terpisah secara tegas. Interaksi keduanya dapat dieliminasi, bahkan dapat dapat disingkarkan melalui metode tertentu. Metode ilmiah, dalam positivisme, dipandang mampu menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan pengarauh peneliti terhadap yang diteliti. Pemisahan antara peneliti dan yang diteliti berlaku dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.

v Generalisasi, yaitu bahwa positivisme mengasumsikan keterlepasan observasi dari faktor waktu dan konteks. Apa yang benar pada satu waktu dan tempat, juga akan benar pada waktu dan tempat yang lain. Hasil pengamatan sampel dapat dijadikan estimasi untuk keseluruhan populasi.

v Kausalitas linear. Hubungan sebab akibat merupakan prinsip alam yang ingin ditemukan positivisme dalam ilmu. “Bila X berlaku, maka Y akan terjadi”. Pernyataan ini memiliki isi empiris yang dapat dicek secara inderawi, misalnya, “bila air dipanaskan 100 derajat, maka akan mendidih”. Pernyataan ini mengandung prognisis, yaitu dapat diramalkan dan dapat dikendalikan berdasarkan syarat atau kondisi yang sudah ditentukan.

v Bebas nilai. Kebebasan nilai dalam ilmu pengetahuan mengimplikasikan dualisme antara pengetahuan yang rasional dan objektif di satu pihak, dan keputusan-keputusan yang berdasarkan norma dan subjektif di pihak lain. Keduanya merupakan hal yang terpisah. Yang pertama merupakan fakta, sedangkan yang kedua merupakan keputusan bagaimana manusia bertindak atau berprilaku. Positivisme beranggapan bahwa yang kedua bukanlah fakta, karena sifatnya subjektif. Sesuatu yang subjektif, dalam pandangan positivisme akan sulit mengontrol nilai dan tidak bisa diterapkan untuk semua orang. Dengan demikian, kaum positivis berpendapat bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Ilmu adalah demi ilmu.

Demikianlah sekilas pandangan mengenai apa dan bagaimana positivisme itu. Walaupun diuraikan secara singkat, akan tetapi dapat memberikan gambaran bahwa positivisme dibentuk dengan objektif-empiris, yaitu ilmu lahir dari hasil pengukuran yang teramati, dikuantifikasi, kemudian merumuskan generalisasinya.



2. Kritik terhadap Positivisme oleh Antipositivisme

Bertolak dari asumsi-asumsi positivisme, maka kritikan terhadap positivisme ditujukan sebagai kontra argumen bagi kaum positivis. Kelima asumsi positivisme yang diuraikan di atas dikritik dengan memberikan argumentasi yang berlawanan. Kritikan tersebut dapat dijelaskan berikut ini.

¨ Realitas naif (versus) Realitas hasil konstruksi. Studi fenomenologi menyatakan bahwa setiap orang memiliki pengalaman yang unik tentang realitas. Bila dalam positivisme realitas bersifat objektif dan tunggal, maka paham antipositivisme memandang bahwa realitas muncul secara beragam sesuai dengan masing-masing orang memandang sesuatu objek. Menurut antipositivisme, tidak ada realitas tunggal. Ketika diperlihatkan sebuah gambar (karikatur) kepada penduduk suatu desa, maka masing-masing orang cenderung akan merekonstruksi gambar (realita) tersebut secara berbeda. Pertanyaan akan muncul, mana sebenarnya yang disebut realitas objektif, apakah realitas menurut si perancang gambar (menurut kaum positivis), atau realitas menurut orang-orang yang menjadi sasaran. Tidak bisa dipastikan mana yang disebut realitas yang sebenarnya, sebab terjadinya perbedaan realitas hasil konstruksi sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan norma-norma individu dalam suatu sistem masyarakat.

¨ Dualisme peneliti-objek (versus) Pengamat partisipan. Pemisahan antara peneliti dengan objek yang diteliti dalam positivisme, dikritik oleh kaum antipositivis. Antipositivisme memandang bahwa peneliti dan objek yang diteliti sulit dipisahkan. Interaksi keduanya akan mempengaruhi hasil pengamatan (penelitian). Prosudur-prosudur metodologis dalam ilmu-ilmu alam, menurut positivisme dapat diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Sebab, menurut positivisme, subjektifitas manusia dipandang tidak akan mengganggu objek pengamatan. Hal ini dibantah oleh antipositivisme. Antipositivisme memandang bahwa subjektifitas manusia akan mempengaruhi hasil pengamatan.

¨ Generalisasi (versus) Tidak ada generalisasi. Menurut kaum antipositivis apa yang menjadi jaminan bahwa dari sejumlah penggalan-penggalan observasi terhadap sampel, dapat ditarik kesimpulan secara umum yang berlaku untuk semua populasi. Generalisasi yang ditarik dari ribuan keterangan berdasarkan observasi, akan menjadi sia-sia bila kemudian ditemukan satu observasi yang bertentangan dengan generalisasi tadi.

¨ Kausalitas linear (versus) Kausalitas banyak/multiple causality. Pada positivisme, hubungan sebab akibat menjadi disederhanakan antara satu fakta dengan fakta lainnya. Menurut positivisme, jika X menyebabkan Y, (misalnya, jika suhu 100 derajat menyebabkan air mendidih), maka kedua variabel tadi dipandang memiliki hubungan pasti, tanpa intervensi variabel lainnya. Akan tetapi kaum antipositivis memandang bahwa jika Y disebabkan oleh X, maka sebenarnya bukan X saja yang menyebabkan Y. Akan tetapi banyak faktor lain yang menyebabkan terjadinya Y. Hubungan sebab akibat yang linear pada postivisme menimbulkan reduksi terhadap realitas yang sebenarnya, karena mengabaikan faktor lain tersebut.

¨ Bebas nilai (versus) Sarat nilai. Antipositivisme memandang bahwa dalam penelitian, keterlibatan kepentingan dan nilai merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Berbeda dengan positivisme yang beranggapan bahwa penentuan tujuan penelitian dan kerangka acuan teoretis, persoalan nilai akan ikut campur, akan tetapi untyuk mencapainya harus menggunakan sarana-sarana yang bebas nilai. Akan tetapi pandangan positivisme ini dibantah oleh Habermas (1968), menurut Habermas, bagaimanapun juga sarana dan tujuan tidak lagi dapat dipisahkan. Oleh karena itu, ketika suatu ilmu pengetahuan sudah ditumpangi nilai oleh ilmuwan, maka ilmu tersebut harus tunduk untuk kepentingan manusia, dan nilai yang yang positif bagi perkembangan kehidupan manusia. Apabila ilmu dikembangkan tanpa dasar nilai yang positif, maka ilmu cenderung akan disalahgunakan untuk menghancurkan kehidupan umat manusia sendiri.



3. Postmodernisme dengan Penggunaannya di Berbagai Bidang

Menurut Bambang Sugiharto (2000), postmodernisme adalah istilah yang sangat kontroversial. Di satu pihak istilah ini kerap digunakan untuk mengolok-olok atau reaksioner terhadap perubahan-perubahan sosial yang sedang berlangsung. Di pihak lain, istilah ini telah memikat banyak minat masyarakat untuk mengartikulasikan beberapa krisis dan perubahan sosio-kultural fundamental yang sedang terjadi. Postmodernisme dalam pandangan Sugiharto bagai rimba belantara yang dihuni aneka satwa yang bisa sangat berbeda-beda jenisnya. Dengan demikian postmodernisme memiliki pengertian yang sangat longgar. Postmodernisme digunakan untuk “memayungi” segala aliran pemikiran yang satu sama lainnya seringkali tidak persis saling berkaitan. Walaupun demikian, Sugiharto mengelompokan postmodernisme menjadi dua kubu, yaitu kubu yang dekonstruktif dan kubu yang konstruktif. Kelompok yang dekonstruktif dapat dimasukan pemikiran-pemikiran Derrida, Lyotard, Faoucult, dan Rorty. Pada kelompok konstruktifdapat dimasukan pemikiran-pemikiran Heidegger, Gadamer, Ricoeur, dan Mary Hesse.

Donny Gahral Adian, seperti yang dikutip dalam www.filsafatkita.f2g.net, membedakan postmodernisme dari postmodernitas. Postmodernitas, tulisnya, merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan realitas sosial masyarakat postindustri. Masyarakat postindustri adalah masyarakat yang ekonominya telah bergeser dari ekonomi manufaktur ke ekonomi jasa di mana ilmu pengetahuan memainkan peranan sentral. Postmodernitas ini ditandai dengan fenomena-fenomena : negara bangsa pecah menjadi unit-unit yang lebih kecil atau melebur ke unit yang lebih besar, partai-partai politik besar menurun dan digantikan oleh gerakan-gerakan sosial (LSM-LSM), kelas sosial terfragmentasi dan menyebar ke kelompok-kelompok kepentingan yang memfokuskan diri pada gender-etnisitas-atau orientasi seksual, serta prinsip kesenangan dan dorongan mengkonsumsi yang menggantikan etika kerja yang menekankan disiplin, kerja keras, anti kemalasan, dan panggilan spiritual (kerja = ibadah). Sementara itu postmodernisme dimengertinya sebagai wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier.

Senada dengan Gahral Adian, Anthony Giddens ternyata juga membedakan postmodernisme (postmodernism) dari postmodernitas (postmodernity). Postmodernisme, jika sungguh-sungguh ada, menurut Giddens sebaiknya diartikan sebagai gaya atau gerakan di dalam sastra, seni lukis, seni plastik, dan arsitektur. Gerakan ini memperhatikan aspek-aspek aesthetic reflection dari modernitas. Sementara itu postmodernitas dimengertinya sebagai tatanan sosial baru yang berbeda dengan institusi-institusi modernitas. Namun, alih-alih menggunakan istilah postmodernitas, Giddens lebih suka menggunakan istilah “modernitas yang teradikalisasi” (radicalized modernity) untuk menggambarkan dunia kita yang mengalami perubahan hebat dan sedang melaju kencang bak Juggernaut yang tak bisa lagi dikendalikan, suatu dunia yang mrucut (runaway world). Alih-alih setuju dengan postmodernitas yang mewartakan berakhirnya epistemologi, Giddens lebih percaya bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah “modernitas yang sadar diri” .

Istilah postmodern menurut Sugiharto (2000) pertama kali muncul di bidang seni. Istilah ini dipakai pertama kali tahun 1930-an dalam karya Federico de Onis yang berjudul Antologia de la Poesia Esapanolaa Hispanoamericana, untuk menunjukan reaksi yang muncul dalam modernisme. Dalam bidang seni ini, beberapa kecenderungan khas biasanya diasosiasikan dengan postmodernisme. Postodernisme dalam pandangan ini berarti hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, tumbangnya batas antara budaya tinggi dan budaya pop, pencampuradukan gaya yang bersifat elektik, parodi, pastiche, ironi, kebermainan, dan merayakan budaya “permukaan” tanpa peduli pada “kedalaman” hilangnya orisinalitas.

Istilah modernisme dan postmodernisme juga digunakan dalam bidang sosial-ekonomi oleh Daniel Bell. Bell mengartikan postmodernisme sebagai kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersama dengan makin terbebasnya daya-daya insting dan kian meningkatnya kesenangan dan keinginan yang akhirnya membawa logika modernisme ke kutub terjauhnya.

Di wilayah kebudayaan, istilah postmodernisme dipakai oleh Frederick Jameson. Postmodernisme, menurut Jameson adalah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umum. Postmodernisme muncul berdasarkan dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan global kapitalisme masa kini.

Menurut Jean Baudrillard, jika modernitas ditandai oleh eksposi komodifikasi, mekanisasi, teknologi, dan pasar, maka masyarakat postmodern ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam) alias peleburan segala batas.

Dalam bidang filsafat, istilah postmodernisme diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotard. Pemikiran Lyotard berkisar pada posisi pengetahuan di abad ilmiah ini, yaitu bagaimana cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebut “metanarasi”, seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar, dan sebagainya. Bagi Lyotard, postmodernisme itu sepertinya adalah intensifikasi dinamisme, yaitu upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus menerus (Sugiharto, 2000).

Itulah beberapa pengertian dan pemahaman mengenai postmodernisme, dimana beberapa gagasan-gagasan dalam postmodernisme merupakan bentuk penolakan terhadap “kemapanan”, pencarian yang baru, dan penolakan terhadap pemisahan peran, tujuan atau hasil yang akan dicapai terhadap suatu kegiatan manusia.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, maka munculnya postmodernisme tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran sebelumnya yang beraliran postivisme dan antipositivisme. Postmodernisme sebagai pemikiran yang dekonstruktif terhadap pemikiran positivistime, banyak diilhami oleh pemikiran-pemikiran antipositivisme yang mengkritik positivisme.



4. Kesimpulan

Untuk mencari benang merah antara hubungan positivisme, antipositivisme, dan postmodernisme yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa postmodernisme muncul ketika pemikiran positivisme telah melahirkan situasi masyarakat yang disebut modern. Gambaran masyarakat pada jaman modern berikut tatatan sosialnya, ternyata melahirkan berbagai konsekuensi buruk bagi kehidupan manusia dan alam. Konsekuensi buruk ini, menurut pandangan postmodernisme adalah sebagai akibat pemikiran positivisme yang memisahkan peran manusia sebagai pembuat nilai-nilai kehidupan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, postmodernisme muncul sebagai gerakan pemikiran untuk mendobrak paham-paham positivisme. Beberapa kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh positivisme dengan modernisme-nya, dikritik oleh kaum postmodernis (antipositivitisme).

Konsekuensi buruk sebagai hasil pemikiran positivisme antara lain: pertama, pandangan dualisme yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual dan natural, manusia dan dunia, telah mengakibatkan objektivitas alam secara berlebihan dan pengurasan secara berlebihan. Akibat dari hal ini terjadi krisis lingkungan; Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivitas dan positivistis, akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Akibatnya, manusia tidak memiliki nilai kemanusiaan lagi; Ketiga, dalam postmodernisme ilmu-ilmu positif-empiris menjadi standar kebenaran tertinggi . Akibatnya terjadi disorientasi nilai-nilai moral dan religius, sehingga menimbulkan kekerasan, keterasingan, depresi mentasl, dan prustasi.

Postmodernisme muncul untuk memperbaiki itu semua. Postmodernisme ingin mengembalikan hakekat manusia sebagai manusia, dan ingin mengembalikan kembali harmonisasi antara manusia dan alam. Upaya terhadap itu semua, maka ilmu-ilmu yang dihasilkan harus sarat nilai, tidak terjadi dualisme objek-subjek, melainkan berbagi peran, sehingga ilmu yang dihasilkan berorientasi pada kepentingan kehidupan umat manusia.###

Daftar Bacaan

Anderson, Perry, 2004. Asal-usul Postmodernitas. Terjemahan: Robby H. Abror. Insight Reference, Jogjakarta.

Hasbiansyah, O., 2000. “Menimbang Positivisme”. dalam Jurnal Mediator. Vol. I No. 1. Unisba, Bandung.

Lyotard, Jean Francois, 2004. Posmodernisme:Krisis dan Masa Depan Pengetahuan. Terjemahan: Kamaludin. Penerbit TERAJU, Jakarta.

Klages, Mary, Dr., 2003. “Postmodernism”. Di situs www.colorado.edu/enslish/engl201klages/pomo.html. Diambil tanggal 24 Oktober 2005.

Safrudin, Irfan, 2004. “Etika Emansipatoris Jurgen Habermas: Etika Paradigmatik di Wilayah Paksis” dalam Jurnal Mediator. Vol 5 No. 1. Unisba, Bandung.

Schoorl, J.W., Prof. Dr., 1988. Modernisasi. Gramedia, Jakarta.

Sugiharto, Bambang I., 2000. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Kanisius, Jogjakarta.

Sumber lain: situs www.filsafatkita.f2g.net. Diambil tanggal 24 Oktober 2005.


Download file : pendekatan postmodernisme.pdf

Kamis, 20 Januari 2011

PERATURAN BARU TENTANG KENAIKAN PANGKAT DAN JABATAN GURU

Peraturan baru yang mengatur kenaikan pangkat jabatan fungsional guru (guru dan kepala sekolah) telah terbit, yakni:
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPANRB) No. 16 Tahun 2009 tanggal 10 November 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Peraturan Bersama Mendiknas dan Kepala BKN Nomor 03/V/PB/2010 dan Nomor 14 Tahun 2010 tanggal 6 Mei 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Berdasar peraturan bersama ini, disebutkan dalam pasal 42: Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2013.
Berikut kutipan sebagian isi Juklak syarat kenaikan pangkat/jabatan guru yang berbeda dengan peraturan sebelumnya
1. III/a ke III/b wajib melaksanakan kegiatan pengembangan diri (pelatihan dan kegiatan kolektif guru) yang besarnya 3 angka kredit.
2. III/b ke III/c wajib melaksanakan kegiatan pengembangan diri (pelatihan dan kegiatan kolektif guru) yang besarnya 3 angka kredit dan publikasi ilmiah/karya inovatif (karya tulis ilmiah, membuat alat peraga, alat pelajaran, karya teknologi/seni) dengan 4 angka kredit.
3. III/c ke III/d wajib melaksanakan kegiatan pengembangan diri (pelatihan dan kegiatan kolektif guru) yang besarnya 3 angka kredit dan publikasi ilmiah/karya inovatif (karya tulis ilmiah, membuat alat peraga, alat pelajaran, karya teknologi/seni) dengan 6 angka kredit.
4. III/d ke IV/a wajib melaksanakan kegiatan pengembangan diri (pelatihan dan kegiatan kolektif guru) yang besarnya 4 angka kredit dan publikasi ilmiah/karya inovatif (karya tulis ilmiah, membuat alat peraga, alat pelajaran, karya teknologi/seni) dengan 8 angka kredit.
5. IV/a ke IV/b wajib melaksanakan kegiatan pengembangan diri (pelatihan dan kegiatan kolektif guru) yang besarnya 4 angka kredit dan publikasi ilmiah/karya inovatif (karya tulis ilmiah, membuat alat peraga, alat pelajaran, karya teknologi/seni) dengan 12 angka kredit.
6. IV/b ke IV/c wajib melaksanakan kegiatan pengembangan diri (pelatihan dan kegiatan kolektif guru) yang besarnya 4 angka kredit dan publikasi ilmiah/karya inovatif (karya tulis ilmiah, membuat alat peraga, alat pelajaran, karya teknologi/seni) dengan 12 angka kredit (dan harus presentasi di depan tim penilai).
7. IV/c ke IV/d wajib melaksanakan kegiatan pengembangan diri (pelatihan dan kegiatan kolektif guru) yang besarnya 5 angka kredit dan publikasi ilmiah/karya inovatif (karya tulis ilmiah dengan 14 angka kredit.
8. IV/d ke IV/e wajib melaksanakan kegiatan pengembangan diri (pelatihan dan kegiatan kolektif guru) yang besarnya 5 angka kredit dan publikasi ilmiah/karya inovatif (karya tulis ilmiah, membuat alat peraga, alat pelajaran, karya teknologi/seni) dengan 20 angka kredit.

Selasa, 18 Januari 2011

INFORMASI SEPUTAR UASBN SD/MI 2011, DAN UN SMP, SMA


Pelaksanaan UASBN SD/MI tahun pelajaran tahun 2011 dinanti dengan harap-harap cemas, oleh kalangan ataupun praktisi pendidikan khususnya di SD/MI. Termasuk penulis sendiri ingin rasanya segera tahu POS penyelenggaraan UASBN SD/MI tahun 2011. Karena dengan membaca POS UASBN ini kita dapat memahami hal seputar UASBN ( Jadwal pelaksanaan, kisi-kisi soal, standar kelulusan, dll). sampai saat ini Selasa 18 januari 2011 penulis masih mencari-cari penuh harap. sampai akhirnya penulis menemukan sumber dari sesama blog yang memuat tentang hal tersebut. Dengan informasi ini penulis ingin berbagi informasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan UASBN ini, kiranya hal ini dapat bermanfaat. Informasi seputar uASBN SD/MI sebagai berikut :
Pelaksanaan UASBN SD/MI Tahun Ajaran 2010/2011 memang dijadwalkan paling akhir diantara Ujian Nasional jenjang sekolah lainnya. Pelaksanaan Ujian Nasional SD/MI tersebut dijadwalkan secara resmi pada tanggal 9 sampai dengan 11 Mei 2011. Ketentuan penilaian adalah bahwa nilai sekolah akan digabungkan dengan nilai UN terdiri dari nilai rapor dan ujian sekolah. Untuk tingkat SMA dan SMK, nilai rapor yang akan dihitung dari semester tiga sampai lima dan tingkat SMP semester satu sampai lima. Bobotnya, kata Dadang, nilai sekolah 40, sedangkan UN 60. Untuk bobot nilai sekolah, ujian sekolah 60, sedangkan rapor 40.
Informasi sementara ini semoga bermanfaat sehingga para siswa maupun pendidik benar-benar mempersiapkan siswa -siswinya
( sumber :http://ujiannasional.org/latihan-uasbn-sdmi-2011-paket-2.htm )

Diposting oleh :

Mohamad Juri, S.Pd.,MMPd
Guru SDN Omben 2
Ketua Forum KKG BERMUTU Kabupaten Sampang.

Sabtu, 15 Januari 2011

RAMBU-RAMBU PENYELENGGARAAN S1 KEPENDIDIKAN BAGI GURU DALAM JABATAN

RAMBU-RAMBU PENYELENGGARAAN
PROGRAM SARJANA (S-1) KEPENDIDIKAN
BAGI GURU DALAM JABATAN

A. Latar Belakang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (pasal 8). Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat (pasal 9), sedangkan kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (pasal 10). Selanjutnya ditegaskan bahwa: “guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik paling lama sepuluh tahun sejak berlakunya undang-undang ini” (pasal 82 ayat 2). Konsekuensi logis dari pemberlakuan undang-undang tersebut, pemerintah dan Penyelenggara Pengadaan Tenaga Kependidikan (PPTK) atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) diharapkan dapat memfasilitasi pelaksanaan program percepatan peningkatan kualifikasi akademik guru dengan akses yang lebih luas, berkualitas dan tidak mengganggu tugas serta tanggung jawabnya di sekolah.
Sementara itu jumlah guru dari berbagai satuan pendidikan (TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB) yang harus ditingkatkan kualifikasi akademiknya mencapai 1.456.491 orang atau 63% dari jumlah guru yang ada di Indonesia, di luar guru yang di bawah pengelolaan Departemen Agama (RA, MI, MTs, MA, dan MAK). Pada satuan pendidikan TK, jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasinya sebanyak 155.661 atau 89% dari jumlah guru TK yang ada. Pada satuan pendidikan SD, jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasinya sebanyak 1.041.793 atau 83%, pada satuan pendidikan SMP jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasinya sebanyak 185.603 atau 38%; pada satuan pendidikan SMA jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasinya sebanyak 34.547 atau 15% dan pada satuan pendidikan SMK, jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasinya sebanyak 33.297 atau 21% serta pada satuan pendidikan SLB, jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasinya sebanyak 5.590 atau 55% dari jumlah guru SLB yang ada (Direktorat Profesi Pendidik Ditjen PMPTK Depdiknas Tahun 2007).
Program percepatan peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi S-1 di Indonesia telah dilaksanakan oleh berbagai perguruan tinggi, baik melalui pendidikan tatap muka (konvensional) maupun pendidikan jarak jauh. Untuk peningkatan kualifikasi akademik guru SD melalui Program S-1 PGSD, sampai pada tahun 2008 telah ditetapkan sebanyak 50 perguruan tinggi sebagai penyelenggara program S-1 PGSD dan pada tahun yang sama juga ditetapkan 23 perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan S-1 PGSD melalui sistem pendidikan jarak jauh atau dikenal dengan PJJ S-1 PGSD berbasis ICT yang tergabung dalam konsorsium LPTK. Kebijakan ini merupakan terobosan bagi penyelenggaraan pendidikan jarak jauh yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan konvensional walaupun jumlah peserta yang mengikuti program ini masih dibatasi karena pembiayaan penyelenggaraan bersumber dari dana pemerintah pusat (blockgrant).
Secara khusus beberapa upaya telah dilaksanakan untuk mempercepat peningkatan kualifikasi guru dalam jabatan, antara lain pada tahun 2006, sebanyak 18.754 guru ditingkatkan kualifikasinya ke S-1 melalui: (1) UT (12.616 orang), (2) APBNP-jalur formal konvensional (5.000 orang), (3) PJJ berbasis ICT (1.000 orang), dan (4) PJJ berbasis KKG (1.500). Tahun 2007 sebanyak 170.000 orang guru dari berbagai satuan pendidikan mendapat bantuan biaya pendidikan melalui dana dekonsentrasi ke Dinas Pendidikan Provinsi. Sekalipun telah dilaksanakan upaya tersebut, hingga saat ini jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasi akademiknya masih cukup banyak sehingga diperlukan alternatif lain untuk mengatasinya.
Sementara itu, pada tahun yang sama pula Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) telah mencoba mengawali suatu program percepatan peningkatan kualifikasi akademik guru SD melalui program S-1 PGSD Dual Mode. Program ini berupaya memadukan penyelengaraan pendidikan antara sistem pembelajaran tatap muka dengan sistem pembelajaran mandiri. Program ini ternyata mendapatkan respons yang sangat baik dari para guru dan pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Upaya percepatan peningkatan kualifikasi akademik guru pada semua satuan pendidikan tidak mungkin tercapai hanya dengan sistem penyelenggaran pendidikan guru yang ada saat ini. Solusi alternatif yang ditawarkan dalam penyelenggaraan pendidikan sarjana (S-1) yang memungkinkan guru memiliki kesempatan lebih luas dengan tidak mengganggu tugas dan tanggung jawabnya adalah penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan. Untuk itu telah terbit Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 58 Tahun 2008 yang secara khusus mengatur penyelenggaraan program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan. Program ini diharapkan dapat mewujudkan sistem penyelenggaraan pendidikan guru yang efisien, efektif, dan akuntabel serta menawarkan akses layanan pendidikan yang lebih luas tanpa mengabaikan kualitas.
Sehubungan dengan hal tersebut, dikembangkan rambu-rambu penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan sebagai acuan bagi perguruan tinggi penyelenggara yang telah mendapat ijin penyelenggaraan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti).
B. Perangkat Penyelenggaraan
1. Tujuan Penyelenggaraan
Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan adalah suatu program penyelenggaraan pendidikan yang secara khusus diperuntukkan bagi Guru dalam Jabatan yang bertugas pada satuan pendidikan formal. Penyelenggaraan program ini bertujuan untuk mendukung upaya percepatan peningkatan kualifikasi akademik bagi guru dalam jabatan sesuai dengan persyaratan yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Program ini dilaksanakan oleh penyelenggara pengadaan tenaga kependidikan yang dalam proses perkuliahannya menggunakan pendekatan dual mode, yaitu melalui pengintegrasian sistem pembelajaran konvensional (tatap muka di kampus) dan sistem pembelajaran mandiri, didukung oleh pemanfaatan multi media secara efektif dan efisien.
2. Kurikulum
Kurikulum yang digunakan dalam Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan adalah kurikulum yang berlaku di masing-masing peguruan tinggi penyelenggara. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang menjadi acuan kurikulum mengacu pada Permendiknas Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, yang meliputi empat kompetensi utama, yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Dalam implementasinya, kurikulum Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan perlu didesain dengan tepat sehingga memungkinkan adanya kelompok mata kuliah yang dilaksanakan melalui kegiatan pembelajaran tatap muka di kampus dan kelompok mata kuliah yang bisa dilaksanakan melalui kegiatan pembelajaran mandiri (self-instruction), baik dengan tutorial maupun tanpa tutorial.
Penetapan kelompok mata kuliah tatap muka di kampus didasarkan atas pertimbangan bahwa mata kuliah tersebut mensyaratkan adanya praktik atau praktikum atau mata kuliah lain yang menurut pertimbangan perguruan tinggi penyelenggara harus dilaksanakan melalui perkuliahan tatap muka. Penetapan kelompok mata kuliah melalui pembelajaran mandiri dengan layanan tutorial adalah mata kuliah yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi dan untuk pengembangan kompetensi profesional. Penetapan kelompok mata kuliah melalui pembelajaran mandiri tanpa tutorial didasarkan atas pertimbangan bahwa mata kuliah tersebut dapat dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa, baik secara perorangan maupun kelompok.
Proporsi setiap kelompok mata kuliah dianjurkan menggunakan pola sebagai berikut: 30% untuk kelompok mata kuliah yang dilaksanakan melalui kegiatan pembelajaran tatap muka dan 70% pembelajaran mandiri (40% pembelajaran mandiri dengan tutorial, dan 30% pembelajaran mandiri tanpa tutorial). Penentuan mata kuliah pada ketiga kelompok tersebut diputuskan oleh lembaga penyelenggara melalui surat keputusan rektor.
3. Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar
Perguruan tinggi dapat memberikan pengakuan terhadap pengalaman kerja dan hasil belajar (PPKHB). Pengalaman kerja terdiri atas pengalaman mengajar, rencana pembelajaran, dan penghargaan yang relevan, sedangkan hasil belajar mencakup kualifikasi akademik, pelatihan, dan prestasi akademik. Semua bukti pengalaman kerja dan hasil belajar guru disusun dalam suatu dokumen yang disebut portofolio. Pengakuan terhadap pengalaman kerja dan hasil belajar paling banyak 65% dari jumlah sks yang harus ditempuh peserta program.
Pengakuan tersebut dilaksanakan sebagai bentuk penghargaan terhadap guru yang bisa menjadi ”credit earning” dalam penyelesaian program peningkatan kualifikasi akademik guru. Penentuan kekurangan jumlah satuan kredit semester yang harus ditempuh diserahkan pada perguruan tinggi masing-masing. Sebagai contoh, guru dalam jabatan yang berijazah D-III meningkatkan kualifikasi ke S-1 atau D-IV, yang bersangkutan harus menyelesaikan sejumlah 40 (empat puluh) satuan kredit semester. Beban belajar yang dapat dibebaskan dihitung sebagai berikut: 65% x 40 satuan kredit semester = 26 satuan kredit semester, sehingga yang bersangkutan masih harus menempuh 14 satuan kredit semester (40 satuan kredit semester – 26 satuan kredit semester).
4. Proses Pembelajaran
Sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa kurikulum program S-1 bagi guru dalam jabatan sama dengan S-1 reguler, dan harus tetap berpegang pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Oleh karena itu pola pembelajaran harus mampu menjaga mutu tercapainya SKL tersebut.
Perbedaan yang esensial antara Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan dengan program reguler pada hakikatnya terdapat dalam pelaksanaan atau proses pembelajaran. Proses pembelajaran dalam Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan dilaksanakan melalui pengintegrasian kegiatan perkuliahan/ pembelajaran tatap muka di kampus dan atau perkuliahan termediasi dan kegiatan pembelajaran mandiri. Pembelajaran mandiri dilaksanakan dengan tutorial dan atau tanpa tutorial.
Kegiatan pembelajaran Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan ini dilaksanakan secara tersendiri, dalam arti tidak boleh dilakukan secara bersama-sama dengan kegiatan pembelajaran kelas reguler.
a. Perkuliahan Tatap Muka
Kegiatan perkuliahan tatap muka merupakan proses interaksi langsung dan terjadwal antara dosen dan mahasiswa dalam mencapai tujuan/kompetensi pada masing-masing mata kuliah, terutama mata kuliah yang mempersyaratkan adanya kegiatan praktik atau praktikum, atau mata kuliah lain yang menurut pertimbangan pihak penyelenggara harus dilaksanakan melalui perkuliahan tatap muka.
Perkuliahan tatap muka dilaksanakan di kampus perguruan tinggi penyelenggara sekurang-kurangnya selama 12 kali pertemuan setiap semester (=75% dari standar pertemuan tatap muka yaitu 16 kali pertemuan). Lama setiap pertemuan perkuliahan tatap muka disesuaikan dengan bobot sks mata kuliah yang bersangkutan (1 sks = 50 menit). Contoh: jika dalam setiap semester, perguruan tinggi penyelenggara menetapkan beban studi yang harus ditempuh mahasiswa sebanyak rata-rata 20 sks, maka 30% dari beban studi untuk kegiatan perkuliahan tatap muka tersebut yaitu sebanyak 6-7 sks atau sekitar 2-3 mata kuliah. Pelaksanaan perkuliahan tatap muka ini dapat dilakukan dengan sistem blok waktu perkuliahan, misalnya dengan memanfaatkan waktu libur sekolah selama 2 sampai dengan 3 minggu.
Perkuliahan termediasi adalah proses interaksi terjadwal antara dosen dan mahasiswa dalam mencapai tujuan/kompetensi melalui pemanfaatan berbagai jenis media dan teknologi.
Waktu perkuliahan diatur oleh perguruan tinggi penyelenggara yang memungkinkan tidak mengganggu tugas dan tanggung jawab guru di sekolah. Untuk itu perguruan tinggi penyelenggara harus dapat mengatur waktu perkuliahan tatap muka sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, misalnya: pada sore hari, pada saat liburan, atau memanfaatkan hari sabtu dan minggu. Penetapan waktu perkuliahan tersebut tidak keluar dari aturan tentang jumlah pertemuan minimal perkuliahan tatap muka yang sama dengan kelas reguler, yaitu: 12-16 kali pertemuan.
Jika perkuliahan tatap muka di kampus penyelenggara sulit dijangkau oleh mahasiswa, maka perkuliahan tatap muka dapat dilaksanakan di pusat-pusat kegiatan belajar, seperti: Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), LPMP, P4TK, dan tempat lain yang direkomendasikan oleh dinas pendidikan (pemerintah daerah), atau perkuliahan termediasi dalam bentuk interaksi terjadwal antara dosen dan mahasiswa melalui pemanfaatan berbagai jenis media dan teknologi.
b. Pembelajaran Mandiri
Pembelajaran mandiri adalah proses interaksi mahasiswa dengan sumber belajar yang dilakukan dengan menggunakan bahan belajar mandiri, baik dengan bantuan tutorial maupun tanpa bantuan tutorial.
Dalam proses pembelajaran mandiri, mahasiswa dapat mempelajari BBM, baik secara perseorangan dan atau dalam kelompok belajar. Dengan adanya kelompok belajar, efektivitas belajar mandiri mahasiswa dapat ditingkatkan.
1) Pembelajaran Mandiri dengan Tutorial
Pembelajaran mandiri dengan tutorial adalah pembelajaran yang dilaksanakan dengan menggunakan bahan belajar mandiri (BBM) disertai kegiatan tutorial. Dalam hal ini dosen bertindak sebagai tutor.
Kegiatan tutorial wajib dilaksanakan minimal 3 kali untuk setiap mata kuliah sebagai layanan belajar yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi penyelenggara, yaitu: di awal perkuliahan, pertengahan semester, dan menjelang UAS. Jumlah pertemuan kegiatan tutorial dapat ditambah atas inisiatif mahasiswa dan pengelolaannya diatur oleh perguruan tinggi penyelenggara.
Pada kegiatan pembelajaran mandiri dengan tutorial, mahasiswa diwajibkan mengerjakan dua buah tugas, mengikuti UTS, dan UAS sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh perguruan tinggi penyelenggara.
Kegiatan tutorial dapat dilaksanakan di pusat-pusat kegiatan belajar, seperti: tempat Kelompok Kerja Guru (KKG), tempat Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Information Communication Technology (ICT) Centre, LPMP, P4TK, dan tempat lain yang direkomendasikan oleh dinas pendidikan (pemerintah daerah). Jika memungkinkan, untuk mengoptimalkan kegiatan pembelajaran mandiri dengan tutorial dapat menggunakan tutorial on-line.
2) Pembelajaran Mandiri Tanpa Tutorial
Pembelajaran mandiri tanpa tutorial adalah pembelajaran yang dilaksanakan sepenuhnya dengan menggunakan BBM. Mahasiswa secara mandiri, baik perorangan maupun kelompok mempelajari BBM atau bahan lainnya yang mendukung. Pada kegiatan pembelajaran mandiri ini, pihak perguruan tinggi penyelenggara tidak memiliki kewajiban memberikan layanan bantuan belajar kepada mahasiswa, kecuali dalam penyediaan BBM. Dalam pembelajaran mandiri tanpa tutorial, mahasiswa diwajibkan untuk mengerjakan dan menyerahkan satu tugas sebagai pengganti UTS dan mengikuti UAS sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.


c. Praktik dan Praktikum
Praktik dan praktikum merupakan bentuk pembelajaran yang memadukan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor dalam rangka pencapaian kompetensi yang bersifat multi dimensi.
Praktik adalah kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan untuk mengaplikasikan teori, konsep, atau prosedur dengan pengawasan langsung dosen/pembimbing. Misalnya: praktik menari, menggambar, olahraga, praktik bengkel, praktik lapangan, dan bina wicara.
Praktikum adalah kegiatan pembelajaran yang berhubungan dengan validasi fakta atau hubungan antar fakta, sesuai yang disyaratkan dalam kurikulum. Misalnya praktikum fisika, kimia, dan biologi (IPA).
Kegiatan praktik dan praktikum merupakan kegiatan yang harus dilaksanakan dalam perkuliahan tatap muka dan dilaksanakan dengan menggunakan berbagai peralatan pendukung, antara lain: peralatan praktik dan laboratorium.
d. Program Pemantapan Lapangan
Program pemantapan lapangan yang selanjutnya disebut PPL adalah bentuk kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah dengan bimbingan oleh dosen/guru pamong yang ditugaskan sesuai dengan yang disyaratkan dalam kurikulum. Penyelenggaraan PPL diatur dan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di perguruan tinggi penyelenggara.
e. Bahan Ajar
Proses pembelajaran dalam Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan mengintegrasikan antara sistem pembelajaran tatap muka di kampus dan sistem pembelajaran mandiri. Pada kegiatan sistem tatap muka di kampus pengembangan bahan ajar diserahkan sepenuhnya kepada dosen pengampu mata kuliah pada perguruan tinggi penyelengara, sedangkan dalam sistem pembelajaran mandiri menggunakan Bahan Belajar Mandiri (BBM). BBM dirancang secara khusus agar dapat dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa. Bentuknya dapat berupa bahan ajar cetak (modul) sebagai bahan ajar utama dan media non cetak (media audio/video, komputer/internet, siaran radio dan televisi) sebagai bahan pendukung atau gabungan keduanya.
Perguruan tinggi penyelenggara dapat memanfaatkan BBM yang telah dikembangkan dan tersedia di beberapa institusi penyelenggara pendidikan jarak jauh dan dapat mengembangkan sendiri BBM berdasarkan rambu-rambu yang relevan.
f. Penilaian Hasil Belajar
Penilaian hasil belajar adalah penilaian yang dilakukan terhadap proses dan hasil belajar mahasiswa, baik dalam perkuliahan tatap muka dan/atau termediasi maupun pembelajaran mandiri. Penilaian hasil belajar perkuliahan tatap muka dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diterapkan di perguruan tinggi masing-masing, seperti: penilaian aktivitas perkuliahan, tugas, UTS, dan UAS. Dalam penilaian hasil belajar, dosen pengampu mata kuliah dapat mempertimbangkan prestasi akademik yang dicapai mahasiswa yang relevan dengan mata kuliah yang ditempuh, misalnya pengurangan beban tugas perkuliahan dan jumlah kehadiran perkuliahan tatap muka.
Penilaian hasil belajar untuk kegiatan pembelajaran mandiri dengan tutorial dilaksanakan melalui penilaian terhadap sekurang-kurangnya dua tugas, UTS dan UAS. Adapun proporsi pembobotannya ditetapkan oleh perguruan tinggi penyelenggara, misalnya: 25% untuk tugas, 25% untuk UTS dan 50% untuk UAS.
Penilaian hasil belajar untuk kegiatan pembelajaran mandiri tanpa tutorial dilaksanakan sekurang-kurangnya satu tugas atau UTS dan UAS dengan pembobotan yang ditetapkan oleh perguruan tinggi penyelenggara, misalnya: 40% untuk tugas/ UTS dan 60% untuk UAS.
Pelaksanaan UAS pada perkuliahan tatap muka dan pembelajaran mandiri dilaksanakan di kampus penyelenggara dan pengolahannya disesuaikan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh perguruan tinggi penyelenggara.
Kelulusan pada Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan diatur dan ditetapkan oleh perguruan tinggi penyelenggara sesuai dengan peraturan/pedoman akademik yang berlaku. Mahasiswa yang telah menyelesaikan program ini berhak memperoleh ijazah sarjana (S-1) dari perguruan tinggi penyelenggara.
5. Rekrutmen Mahasiswa
Mengingat tujuan penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan adalah untuk mendukung upaya percepatan peningkatan kualifikasi akademik bagi guru dalam jabatan, maka proses penerimaan mahasiswa baru perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru
Sistem penerimaan calon mahasiswa dilakukan melalui prosedur seleksi yang kredibel sesuai dengan persyaratan akademik dan persyaratan administratif yang berlaku pada masing-masing perguruan tinggi penyelenggara. Calon mahasiswa berasal dari guru tetap dalam jabatan baik yang berstatus PNS maupun bukan PNS dari sekolah di Kabupaten/Kota yang menanda-tangani MoU dengan PT penyelenggara.
Guru Tetap adalah Guru yang diangkat oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, penyelenggara pendidikan, atau satuan pendidikan untuk jangkah waktu paling singkat 2 (dua) tahun secara terus menerus, dan tercatat pada satuan administrasi pangkal di satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah serta melaksanakan tugas pokok sebagai Guru yang telah mempunyai Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).
Guru dalam jabatan adalah guru pegawai negeri sipil dan guru bukan pegawai negeri sipil yang sudah mengajar pada satuan pendidikan formal, baik yang diselenggarakan Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun penyelenggara pendidikan yang sudah mempunyai Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama.
Jumlah mahasiswa yang akan diterima dalam program ini disesuaikan dengan ketersediaan SDM (dosen) dan sarana prasana penunjang yang dimiliki, baik oleh perguruan tinggi penyelenggara maupun perguruan tinggi mitra.
Perguruan tinggi penyelenggara dapat melakukan proses rekrutmen mahasiswa sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali dalam satu tahun akademik, yaitu: pada setiap semester gasal dan genap.
b. Kriteria Calon Mahasiswa
Sesuai dengan tujuannya, calon mahasiswa Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan adalah guru tetap yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bukan PNS yang bertugas mengajar TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, dan SLB.
Guru PNS dibuktikan dengan fotocopy SK Pengangkatan yang dilegalisasi Pemerintah Daerah (Badan Kepegawaian Daerah), sedangkan guru tetap bukan PNS adalah guru tetap yang berdasarkan surat keputusan dari penyelenggara satuan pendidikan yang berbadan hukum yang dibuktikan dengan fotocopy SK pengangkatan yang dilegalisasi. Khusus untuk guru bukan PNS, diharuskan melampirkan surat pernyataan bermaterai enam ribu rupiah yang isinya tidak menuntut diangkat sebagai PNS.
Calon mahasiswa harus melampirkan Surat Ijin Belajar dari Dinas Pendidikan atau badan hukum penyelenggara pendidikan.

c. Pemilihan Program Studi
Program studi yang dipilih oleh calon mahasiswa harus sesuai dengan mata pelajaran yang diampu atau sesuai/serumpun dengan latar belakang pendidikan sebelumnya. Bagi calon mahasiswa lulusan SLTA sederajat, atau lulusan D1/D2/D3. Program studi yang dipilih harus sesuai dengan latar belakang pendidikan guru sebelumnya yang dibuktikan dengan fotocopy ijazah dan transkrip nilai yang telah dilegalisasi oleh lembaga asal atau sesuai dengan mata pelajaran yang saat ini diampu minimal lima tahun terakhir. Bagi guru yang berasal dari SLTA sederajat, fotocopy ijazah dapat dilegalisasi oleh Dinas Pendidikan setempat.
Mengacu pada peningkatan capaian mutu hasil pendidikan, bagi guru kelas yang mengajar di TK diharuskan memilih program studi S-1 PGTK/ PGPAUD dan bagi guru kelas yang mengajar di SD diharuskan memilih program studi S-1 PGSD. Untuk guru TK dan SD yang mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris dan Agama dapat melanjutkan ke program studi yang sesuai.
Guru mata pelajaran yang mengajar di SMP/SMA/SMK, dapat melanjutkan studi sesuai dengan latar belakang pendidikan sebelumnya atau sesuai dengan mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran yang diampu dengan syarat minimal telah mengajar lima tahun pada mata pelajaran tersebut.
d. Prosedur Seleksi
Pendaftaran calon mahasiswa diumumkan secara terbuka. Penetapan calon mahasiswa Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan dilaksanakan melalui seleksi administratif yang berkaitan dengan: (1) masa kerja sebagai guru, (2) usia, (3) pangkat/golongan bagi PNS, (4) ijazah terakhir dari perguruan tinggi yang mendapat ijin operasional dari Dikti, dan (5) ijin melanjutkan studi dari dinas pendidikan bagi guru PNS dan dari penyelenggara satuan pendidikan yang berbadan hukum bagi guru tetap yayasan. Jumlah calon mahasiswa yang diterima disesuaikan dengan daya tampung dan ketersediaan sarana prasarana di perguruan tinggi penyelenggara. Pelaksanaan seleksi administratif tersebut dilaksanakan oleh perguruan tinggi penyelenggara dapat dibantu oleh dinas pendidikan kabupaten/kota. Cara penyampaian hasil seleksi mengikuti mekanisme yang berlaku pada masing-masing perguruan tinggi penyelenggara.
6. Ketenagaan
Ketenagaan yang diharapkan tersedia dan dapat mendukung penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan, di antaranya: dosen, pengelola program, tenaga administrasi, laboran/teknisi dan pengelola perpustakaan/ pustakawan.
a. Dosen
Untuk menyelenggarakan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan, lembaga penyelenggara dipersyaratkan memiliki kualifikasi dosen sebagaimana tercantum dalam kebijakan dan perundang-undangan yang berlaku.
Dosen berfungsi sebagai pengampu mata kuliah dengan tugas pokok mengajar dan bertanggung jawab terhadap seluruh pelaksanaan perkuliahan dan bertugas mengembangkan deskripsi mata kuliah, silabus, Satuan Acara Perkuliahan, penyusunan tugas atau soal-soal ujian, serta mengembangkan bahan ajar. Jumlah dosen untuk program ini disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan perguruan tinggi penyelenggara.
Dalam hal pelaksanaan perkuliahan yang dilakukan di luar kampus perguruan tinggi penyelenggara dapat menjalin kemitraan dengan perguruan tinggi lain, baik dalam penggunaan sarana perkuliahan maupun bantuan/pemanfaatan sumber daya manusia (dosen). Dosen yang diperbantukan dalam pelaksanaan perkuliahan tersebut ditetapkan oleh pimpinan perguruan tinggi penyelenggara atas usulan perguruan tinggi mitra dengan kualifikasi sesuai peraturan perundangan.
b. Pengelola Program
Pengelola program adalah personil yang bertugas mengelola penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan. Pengelola program perlu memiliki keahlian manajerial dan pengelolaan pembelajaran mandiri. Jumlah personil disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi perguruan tinggi penyelenggara.
c. Tenaga Administrasi
Perguruan tinggi penyelenggara harus memiliki tenaga akademik, administrasi keuangan, kemahasiswaan, dan sarana dan prasarana. Jumlah tenaga administrasi disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi perguruan tinggi penyelenggara.
d. Tenaga Penunjang Akademik
Perguruan tinggi penyelenggara harus memiliki tenaga penunjang akademik, seperti laboran, teknisi, pustakawan. Jumlah tenaga penunjang akademik disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi perguruan tinggi penyelenggara.
7. Sarana dan Prasarana
Jenis sarana dan prasarana yang perlu tersedia untuk mendukung penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan, diantaranya: ruang perkuliahan, ruang dan perlengkapan praktek dan praktikum (laboratorium), ruang dan perlengkapan ICT, perpustakaan, dan sekolah mitra sebagai tempat kegiatan PPL.
Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh perguruan tinggi harus menjadi pertimbangan dalam penerimaan jumlah mahasiswa yang akan diterima untuk setiap rombongan belajarnya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
8. Pendanaan
Penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan akan dapat berlangsung dengan baik bila didukung ketersediaan dana yang memadai. Pendanaan program ini dapat berasal dari mahasiswa (swadana), kerjasama dengan pemerintah daerah (stakeholders) dan sumber lainnya. Pengelolaan dana dilakukan secara terintegrasi dengan pengelolaan dana lainnya sesuai dengan aturan yang ada di perguruan tinggi penyelenggara. Guru dalam jabatan yang ikut dalam program ini, baik yang dibiayai Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun biaya sendiri dilaksnakan dengan tetap melaksanakan tugasnya sebagai Guru.
9. Kemitraan dan Kerjasama
Dalam penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan, perguruan tinggi penyelenggara dapat melakukan kemitraan dengan perguruan tinggi lain. Kemitraan dengan perguruan tinggi mitra dapat dilakukan dalam bentuk resources sharing, antara lain pemanfaatan SDM, pengadaan bahan belajar mandiri, pelaksanaan perkuliahan, kegiatan praktik dan praktikum. Perguruan tinggi penyelenggara dapat bermitra dengan perguruan tinggi lain yang menyelenggarakan Program Pengadaan Tenaga Kependidikan (PPTK) yang berlokasi di wilayah tertentu dalam menyelenggarakan program tertentu. Dalam hal tidak ada perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan, perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan yang memiliki program studi satu rumpun dapat menyelenggarakan program sarjana (S-1) kependidikan dengan bermitra dengan perguruan tinggi lain yang tidak menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan yang memiliki program studi relevan dan terakreditasi minimal B.
Dalam penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan, perguruan tinggi penyelenggara dapat melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah, dan lembaga lain yang terkait. Kerjasama dengan pemerintah daerah dilakukan dalam rekrutmen mahasiswa, pemberian bantuan belajar, dan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana penunjang perkuliahan yang dituangkan dalam bentuk MoU.
Kerjasama dengan lembaga lain, seperti: lembaga penjaminan mutu pendidikan (LPMP), pusat pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan (P4TK), dan dinas pendidikan (pengelola kelompok kerja guru/ KKG, musyawarah guru mata pelajaran/MGMP atau lembaga lainnya (seperti: Balai Latihan Kerja/BLK, dunia usaha dan dunia industri/DuDi, BLPT) dapat dilakukan dalam hal penggunaan sarana dan fasilitas untuk kegiatan perkuliahan.
Dalam melaksanakan kerja sama, perguruan tinggi penyelenggara dapat berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait baik di tingkat pusat maupun daerah. Koordinasi bisa dilaksanakan melalui kegiatan konsultasi, kunjungan, negosiasi, korespondensi, rapat/pertemuan berkala, atau wahana lainnya yang memungkinkan. Dengan adanya koordinasi ini diharapkan dapat lebih meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan.
Secara rinci, pola kemitraan dan kerjasama dapat dilihat pada lampiran 1 tentang Pedoman Kemitraan dalam Penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan.
10. Monitoring dan Evaluasi Program
Secara internal, perguruan tinggi penyelenggara melakukan monitoring dan evaluasi untuk menjaga kualitas penyelenggaraan program dengan menggunakan instrumen yang telah ditetapkan oleh Ditjen Dikti. Perguruan tinggi penyelenggara melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan program yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi mitra. Adapun monitoring dan evaluasi secara menyeluruh dan berkala terhadap penyelenggaraan program dilaksanakan oleh tim monev yang ditunjuk oleh Ditjen Dikti.
Apabila hasil monitoring dan evaluasi menunjukkan adanya pelanggaran ketentuan penyelenggaraan, tim monev dapat merekomendasikan pencabutan ijin perguruan tinggi tersebut sebagai penyelenggara Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan.

C. Perguruan Tinggi Penyelenggara
Perguruan tinggi yang akan menyelenggarakan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Persyaratan Perguruan Tinggi Penyelenggara
Perguruan tinggi penyelenggara Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. program studi sarjana (S-1) kependidikan yang memiliki ijin penyelenggaraan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi;
b. program studi sarjana (S-1) kependidikan yang terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dengan nilai minimal B, kecuali untuk program studi sarjana (S-1) pendidikan guru sekolah dasar (PGSD)/pendidikan guru taman kanak-kanak (PGTK)/pendidikan guru pendidikan anak usia dini (PGPAUD) memiliki ijin penyelenggaraan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi;
c. perjanjian kerjasama antara pimpinan perguruan tinggi dan kepala daerah dalam rangka peningkatan kualifikasi akademik guru;
d. perjanjian kemitraan dengan perguruan tinggi lain dalam rangka penyelenggaraan program peningkatan kualifikasi akademik guru;
e. sarana dan prasarana yang menunjang penyelenggaraan program sarjana (S-1) kependidikan bagi guru dalam jabatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
f. bahan ajar untuk kepentingan perkuliahan tatap muka dan/atau termediasi, dan pembelajaran mandiri;
g. laporan Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri (EPSBED) sekurang-kurangnya 2 (dua) semester terakhir.
2. Persyaratan Perguruan Tinggi Mitra
Perguruan tinggi mitra dipilih dan ditetapkan oleh perguruan tinggi penyelenggara dengan kriteria sebagai berikut:
a. memiliki program studi yang relevan;
b. memiliki sumberdaya yang dapat dimanfaatkan bersama (resources sharing) dan memiliki ijin penyelenggaraan dari Dirjen Dikti;
c. memiliki tenaga pengajar yang berkualifikasi sesuai dengan PP Nomor 19 Tahun 2005;
d. memiliki sarana dan prasarana yang menunjang penyelenggaraan Program S-1 Pendidikan bagi Guru dalam Jabatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e. taat azas dalam penyelenggaraan perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundangan;
f. membuat laporan evaluasi program studi berbasis evaluasi diri (EPSBED) sekurang-kurangnya 2 (dua) semester terakhir; dan
g. mendapat dukungan dari pemerintah daerah yang akan mengirimkan guru untuk mengikuti program ini.
Perguruan tinggi yang bukan PPTK dapat menjadi mitra perguruan tinggi penyelenggara dengan ketentuan memiliki program studi serumpun dan telah terakreditasi minimal B.
3. Komitmen Lembaga
Lembaga penyelenggara Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan harus memiliki komitmen tinggi yang ditunjukkan dengan adanya kesadaran pemahaman yang lengkap dan mendalam. Hal tersebut dituangkan dalam perencanaan yang matang dan komprehensif berupa rencana strategis lembaga. Rencana strategis tersebut tercermin dalam usulan program yang kredibel. Dalam implementasinya, komitmen tersebut didukung oleh ketersediaan dana, tenaga, sarana dan prasarana, dan dukungan pemerintah daerah serta ketaatan terhadap berbagai kebijakan yang telah ditetapkan.
Komitmen lembaga harus dinyatakan dalam bentuk pernyataan tertulis dan dilampirkan pada saat pengajuan proposal penyelenggaraan program.

D. Mekanisme Perijinan
Pengusulan penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan dilakukan dengan mengikuti prosedur sebagai berikut:
1. Pimpinan perguruan tinggi mengajukan usulan penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan kepada Menteri Pendidikan Nasional melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
2. Ditjen Dikti Depdiknas mengevaluasi usulan dari perguruan tinggi pengusul berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
3. Atas nama Menteri Pendidikan Nasional, Ditjen Dikti Depdiknas akan mengeluarkan surat ijin penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan apabila perguruan tinggi pengusul memenuhi persyaratan dan kriteria yang telah ditetapkan.
4. Perguruan tinggi penyelenggara wajib mengirimkan laporan penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan sesuai dengan surat keputusan untuk dilakukan evaluasi penyelenggaraan program sebagai dasar penentuan perpanjangan ijin operasional.

CONTOH HASIL KAJIAN KRITIS

Materi Disajikan pada Pelatihan Pengembangan Modul BBM BERMUTU KKG
Di Hotel Grand Jaya Raya Bogor Juni 2010


Esensialisme Budaya dan Pragmatisme Politik


Untuk waktu yang sangat lama, teori sosial dan kalangan politik dikuasai oleh gagasan esensialis tentang kebudayaan. Secara sederhana, dalam gagasan esensialis diandaikan dan dipercaya begitu saja bahwa kebudayaan terdiri dari nilai dan norma yang telah selesai, sempurna, baku, berdiri sendiri dan tidak tersentuh lagi oleh perilaku budaya dalam kehidupan nyata. Tegasnya, dalam gagasan esensialis, peranan para pendukung kebudayaan dalam memberi bentuk dan isi kebudayaan diabaikan. Manusia dibentuk oleh budayanya, bukan manusia yang membentuk budayanya. Seseorang menjadi Sunda karena budayanya, demikian pula seorang menjadi Minang karena budayanya. Seorang Jawa yang hidup di budaya Jepang akan menjadi Jepang secara budaya.
Asumsi yang dianut gagasan esensialis adalah bahwa perilaku sekelompok orang bergantung pada nilai dan norma yang dianutnya. Jadi, untuk mengubah perilaku budaya, perlu terlebih dulu diubah seluruh perangkat nilai dan norma kebudayaan yang menjadi pedomannya. Ada semacam kepercayaan yang bersifat Platonis bahwa nilai dan norma budaya berada pada sebuah “dunia ide-ide” yang otonom, sedangkan perilaku budaya hanya merupakan pantulan dan tiruan yang kurang sempurna dari dunia ide tersebut. Kalau ada yang menyimpang dalam kebudayaan, maka yang harus diubah adakah perilaku budaya, bukan nilai dan norma budaya. Secara populer, pemikiran tersebut diabadikan dengan slogan: Jangan salahkan budaya, tapi salahkanlah perilakunya!
Mengapa gagasan esensialis tentang kebudayaan demikian dominan? Secara ilmiah, gagasan esensialis dipengaruhi gagasan positivisme yang memandang budaya sebagai barang jadi yang dapat diteliti secara empiris gejala dan polanya. Positivisme menangkap kehadiran budaya dengan pola-pola yang sudah terbentuk dan tidak berupaya untuk menangkap proses pembentukan (konstruksi) budaya. Dalam proses pembentukan budaya akan terlihat kekuasaan dan kepentingan berbagai gagasan yang membentuk budaya dalam suatu konteks sejarah yang kongkrit. Setiap budaya ada riwayat hidupnya dan konstruksi sosial adalah semacam biografi tentang budaya dimaksud.
Jadi, jika dominannya gagasan esensialis dilihat dari konteks sejarah yang diwarnai banyak kekuasaan dan kepentingan, kita akan melihat bahwa gagasan esensialis adalah argumen pragmatis untuk menghindari tanggungjawab budaya dengan cara memisahkan nilai budaya dan perilaku budaya. Ketika mempropagandakan pribumi sebagai pemalas, penjajah dulu pada dasarnya menimpakan kemiskinan dan kemelaratan pada pribumi yang malas, sementara seluruh usaha mereka menjarah dan mengeruk kekayaan Indonesia ke luar negeri tidak disinggung. Di jaman sekarang, peran kolonial diganti oleh koruptor yang bernalar dan menjustifikasi perbuatan dengan alasan maraknya budaya korupsi, selain juga maraknya budaya nepotisme dan budaya kekerasan: kekerasan fisik dalam rumah tangga (KDRT), dalam berbagai demo ’pesanan’ atau dalam berbagai pembagian bantuan, tunai atau sembako serta kekerasan mental ketika di tengah rakyat kelaparan, pejabat tinggi justru minta naik gaji dan/atau korupsi (Diadaptasi dari: Kleden, 2001:17-22).




Kajian Kritis terhadap Bacaan Esensialisme Budaya dan Pragmatisme Politik

Pertama-tama harus dicatat bahwa pada tataran teori, penyamaan gagasan esensialis dengan gagasan Platonis adalah tepat hanya dalam arti tertentu. Namun, jika mengingat pandangan Whitehead yang mengatakan semua filosofi adalah catatan kaki saja pada filosofi Plato, Plato tentulah di atas dan mengatasi semua aliran filosofi. Karena meliput semua aliran, maka selalu aktual dan dalam arti demikian dapat dikatakan esensialis. Plato lebih tepat disebut idealis. Tepatnya istilah idealis buat Plato semata-mata karena suatu pandangannya tentang sulitnya menjelaskan bagaimana orang bisa tahu sesuatu. Orang tahu karena pernah diberi tahu di alam ideal (di saat orang bersangkutan bahkan tidak menyadarinya).
Dari kurang tepatnya memahami makna esensialisme, maka jelas saja menuntun ke kesimpulan salah ’esensialisme dipengaruhi positivisme’. Jika pun dapat diposisikan, esensialisme berada pada posisi bersebrangan dengan postivisme: bagaimana yang satu dapat mempengaruhi yang lain? Secara garis besar, esensialisme berpandangan bahwa ada nilai-nilai yang selalu aktual dari jaman ke jaman. Suatu ’slogan’nya adalah hal yang baik itu selalu aktual, hal yang aktual belum tentu baik. Sementara itu, positivisme berpandangan bahwa hanya hal yang terbukti dan terlihat secara empiris saja yang bermakna atau benar.
Selanjutnya, pada tataran praktek atau tepatnya penarapan teori pada praktek, maka dalam bacaan tersebut, satu-satunya dapat diterima adalah bahwa positivisme ’menangkap kehadiran budaya dengan pola-pola yang sudah terbentuk dan tidak berupaya untuk menangkap proses pembentukan (konstruksi) budaya’. Kemudian, kesimpulan ’gagasan esensialis adalah argumen pragmatis untuk menghindari tanggungjawab budaya dengan cara memisahkan nilai budaya dan perilaku budaya’ semestinya diubah menjadi ’gagasan positivis adalah argumen pragmatis untuk menghindari tanggungjawab budaya dengan cara memisahkan nilai budaya dan perilaku budaya’. Oleh karena itu, secara keseluruhan, penulis salah memahami gagasan esensialis. Sederhananya, jika kata ’esensialis’ diganti dengan ’positivis’ maka ’kebenaran’ bacaan dapat diterima.
Akhirnya, kajian atas bacaan dari sisi teori dan praktek kiranya baru meliput ‘dunia’ objektif, ‘dunia’ normatif dan ‘dunia’ kebahasaan saja. Dari ‘dunia’ subjektif, kita dapat bertanya: mengapa penulis melakukan kekeliruan tersebut? Apa yang dapat kita ambil pelajaran dari kekeliruan tersebut? Jawab atas pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab sejauh mana kita mengenal penulis dan apa kepentingan kita ketika kita memutuskan untuk membaca tulisannya.

PUBLIKASI ILMIAH

PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Oleh: IM HAMBALI
Publikasi ilmiah sebagaimana diamantkan oleh PERMENPAN no.16 tahun 2009 mencakup:
a) Publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal
b) Publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan dan pedoman guru (hand-out) pembelajaran.
Dalam kajian materi ini, penulis menekankan pada publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif
Publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal.
Publikasi bentuk ini biasa disebut dengan artikel (hasil penelitian dan kajian ilmiah). Baik artikel sebagai hasil penelitian maupun artikel sebagai hasil kajian mendalam secara teoritik mengenai bidang tertentu atau hasil inovatif tertentu ditulis oleh seorang atau sekelompok orang, salah satu sebagai ketua dan alinnya anggota dan dipublikasikan melalui jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh lembaga tertentu (perguruan tinggi, lembaga riset, instansi pendidikan,) secara secara resmi didaftar kepada lembaga pemegang otoritas ilmiah; dalam hal ini Lembaga Ilmi Pengetahuan Indonesia (LIPI); dan terbit secara periodic dan konsisten. Jurnal ilmiah ini memiliki dua kategori yakni nasional dan internasional yang masing-masing meliputi terakreditasi dan tidak terakreditasi.
Jurnal ilmiah bertaraf internasional adalah jurnal yang diterbitkan oleh lembaga ilmiah yang memlikii anggota penyunting dari berbagai Negara. Jurnal internasional harus dibedkan dengan jurnal yang diterbitkan oleh lembaga luar negeri (di Negara tertentu) dan berbahasa inggris, namun namun jurnal internasional memiliki criteria tertentu dimana criteria tersebut dipakai sebagai pedoman apakah sebuah jurnal ilmiah adalah bertaraf internasional atau sekedar terbit di luar negeri atau berbahasa inggris. Jurnal internasional juga harus dibedakan dengan jurnal yang diberi nama atau kata “internasional” misal “Jurnal Internasioanal Psikologi Anak Jalanan”. Jurnal internasional disamping dikelola oleh lembaga yang memiliki anggota penyunting dari berbagai Negara, juga menggunakan salah satu dari 6 bahasa internasional, serta penulis berasal dari berbagai Negara di dunia.
Berikutnya, jurnal nasional ialah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh lembaga ilmiah (perguruan tinggi, lembaga riset, instansi-pemerintah) pada suatu Negara (missal:Indonesia) dan dikelola oleh anggota penyunting dari cukup Negara tersebut. Penulis bisa dari Negara tersebut, juga bisa bersal dari luar negeri. Jurnal nasional dapat ditulis dalam bahasa apapu sesuai dengan bahasa nasional Negara tempat jurnal tersebut diterbitkan atau bahasa kelompok tertentu (sesuai dengan pembaca). Dalam hal ini, kajian diarahkan ke jurnal khusus yaknik jurnal nasional tentang pendidikan yang dapat secara resmi menjadi sarana publikasi karya ilmiah para guru. Artikel tersebut dikategorikan menjadi 2 yakni: (1) artikel hasil penelitian dan (2) artikel nonhasil penelitian.
(1) Artikel Hasil Penelitian
Artikel hasil penelitian adalah hasil penelitian dari seseorang atau sekelompok orang yang ditulis dalam bentuk artikel yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal ilmiah dan dimuat berdasarkan periodisasi jurnal yang bersangkutan. Dalam pemuatan jurnal hasil penelitian, tim penyunting memiliki teknis resmi dan tahapan maupun prasyarat yang dipedomani, sehingga hanya artikel yang memenuhi syarat saja yang memiliki peluang untuk diterbitkan. Artikel ini memiliki nilai lebih secara ilmiah disbanding dengan publikasi lainnya seperti majalah, koran mingguan maupun harian dan bentuk publikasi lainnya. Dibanding dengan laporan teknis resmi, artikel jurnal ilmiah ini lebih kurus atau tidak tebal, tapi memuat seluruh sebagian hasil penelitian dengan urutan dan kandungn komponen terntu. Di samping ketebalan yang berbeda, hasil penelitian yang dipublikasikan melalui jurnal ilmiah memiliki janguan pembaca yang lebih luas daripada laporan hasil penelitian yang ditulis secara resmi. Oleh karena itu, dengan asumsi bahwa hasil penelitian yang diciptakan oleh guru dapat bermanfaat bagi guru lain atau pembaca pada umumnya, maka hasil penelitian yang dipublikasi ini memiliki poin penghargaan lebih tinggi.
Artikel hasil penelitian ini memuat hal-hal penting hari batang tubuh hasil penelitian, tanpa lampiran dan dituangkan dalam bahasa ilmiah tingkat tinggi. Setiap kali terbit, jurnal memuat sejumlah artikel yang tidak kurang dari 5 (lima) dan tidak lebih dari 12 (duabelas) lazimnya. Keterbatasan tempat tersebut, dalam kondisi tertentu penulis harus berkompetitif dan antri sesuai dengan seberapa animo penulis yang masuk.
Ciri Pokok
Laporan hasil penelitian dalam bentuk artikel dibedakan setidaknya dalam tiga segi yakni bahan, sistematika dan prosedur penulisan. Bahan yang diutama dalam artikel hasil penelitian (karena tempatnya terbatas) hanyalah bagian temuan hasil penelitian, pembahasan terhadap hasil dan kesimpulan. Tidak kalah penting juga adalah metode, karena metode akan menggambarkan seberapa sistematis penelitian dilakukan dan seberapa valid pengukuran dilaksanakan. Di samping itu, kajian pustaka dalam artikel hasil penelitian disajikan dalam pendahulan(tana kata pendahuluan) tidak seperti lazimnya dalam laporan penelitian yang disajikan dalam bab II. Kajian teori sekaligus menjadi bagian terpenting dari komponen latar belakang maslah penelitian. Kajian teori diakhiri dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Selanjutnya mengenai prosedur penelitian, hasil dan temuan penelitian, pembahasan hasil dan kesimpulan ditulis secara berturutan setelah kajian teori (sebagai latar belakang masalah).
Sedangkan prosedur yang harus dilalui dalam rangkaian penulisan artikel hasil penelitian ini ada tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama ditulis dan dipublikasi sebelum penulisan resmi hasil penelitian dibuat. Tujuannya untuk menjaring masukan dari para pembaca sekaligus menjadi bahan dalam penulisan resmi hasil penelitian. Prosedur ini nampaknya sulit karena tahapan pengajuan artikel hasil penelitian diajukan sampai betul-betul dimuat cukup memakan waktu lama, dan penulisan resmi hasil penelitian bisanya menuntut segera diselesaikan, kecuali peneliti bersedia berlama-lama menunggu sampai dengan artikel yang ditulis dimuat dalam sebuat edisi terbitan. Kemungkinan selanjutnya; peneliti merampungkan tulisan resmi hasil penelitian, baru ia menulis hasil penelitian dalam bentuk artikel mengusulkannya untuk dimuat dalam jurnal dan edisi tertentu. Kemungkinan kedua ini terjadi paling lazim oleh karena, disamping menulis artikel hasil penelitian, penulis dituntut untuk segera merampungkan leporan hasil penelitian dalam bentuk tulis resmi. Sedangkan kemungkinan ketiga, dan secara ilmiah diperbolehkan adalah artikel hasil peneltian yang diusulkan untuk dimuat dalam edisi jurnal tertentu merupakan satu-satunya hasil penelitian yang ditulis oleh peneliti. Kemungkinan ketiga ini lazim dilakukan oleh peneliti yang mendanai sendiri kegiatan penelitiannya. Dan tampaknya untuk para guru, alternative ketiga ini lebih cocok untuk dikerjakan, oleh karena guru disamping mengajar, ia juga memiliki waktu yang sangat terbatas dan publikasi sebagai kuajiban yang tidak dapat ditinggalkan.
Isi dan Sistematika
Penulisan artikel hasil penelitian dilakukan dengan tanpa angka dan tanpa abjat maupun bab dan sub bab. Secara rinci, sistematika penulisan sebagai berikut:
JUDUL
Judul artikel hendaknya informative, singkat dan resmi, boleh tidak sama persis dengan judul penelitian namun masih dalam satu pengertian. Judul tidak kurang dari 5 kata dan tidak lebih dari 15 kata. Judul artikel memuat variabel-variabel yang diteliti atau kata-kata kunci yang menggambarkan masalah yang diteliti. Judul diupayakan menarik dan mencakup, sehingga pilihlah kata kunci yang tepat dan bernuansa ilmia.
NAMA PENULIS
Nama penulis dituangkan di bawah judul artikel dengan tanpa menulis atau mencantumkan nama gelar akademik, gelar bangsawan, jabatan dan status lain sebgaai pertanda identitas kedudkan penulis. Di bawah penulis, dicantumkan alamat yang dapat dihubungi (tanpa jabatan), dicantumkan juga nomor telepon,hp maupun e-mail kalau ada. Alamat ditulis selengkap mungkin, dan jika yang dicantumkan adalah nama lembaga tempat penulis bekerja, maka alamat lengkap juga dicantumkan.
SPONSOR
Sponsor (kalau penelitian dibiayai oleh pihak tertentu) dicantumkan sebagai catatan kaki dan dicamtukan dibawah halaman judul.
ABSTRAK DAN KATA-KATA KUNCI
Abstrak dan kata kunci adalah bagian penting, karena abstrak dan kata-kata kunci dapat member arahan kepada calon pembaca yang sedang menelusuri artikel hasil penelitian dalam masalah tertentu untuk tidak harus membaca keseluruhan teks artikel sebelum ia yakin bahwa penelitian tersebut memang kajian yang sedang dicari. Abstrak terdiri dari satu alinea, dan memuat ide-ide yang paling penting. Masalah dan tujuan penelitian, prosedur penelitian (secara singkat) dan ringkasan hasil penelitian (sekaligus sebagai bagian yang sangat ditekankan). Hipotesis, pembahasan dan saran tidak perlu dicantumkan. Panjang abstrak lazimnya tidak kurang dari 50 kata dan sebaiknya tidak lebih dari 150 kata. Abstrak ditulis dalam spasi tunggal, dan diformat lebih sempit (baik margin kiri dan margin kanan) sekitar lima karakter.
PENDAHULUAN
Kata “PENDAHULUAN” tidak perlu dicantumkan, ditulis langsung setelah abstrak dan baris pertama diketik tidak masuk seperti lazimnya baris pertama alinea baru. Penekanan dalam pendahuluan ini terletak pada latar Belakang Masalah (baik latar teoritik maupun latar empiric dan peristiwa) serta rasional mengapa penelitian harus dilaksanakan, dan masalah serta wawasan pemecahan masalah secara ilmiah serta tujuan penelitian. Selanjutnya, dalam bagian ini penulis melakukan kajian pestaka secara mendalam (deduktif) tanpa ber”tele-tele” serta menukik pada kebenaran pemecahan masalah maupun penjelasan hubungan antar variabel yang diteliti. Pada intinya, dalam bagian ini penulis menggiring pembaca untuk menyadari benar akan pentingnya penelitian dan mengerti serta mengakui bahwa pemecahan masalah maupun paradigm yang ditawarkan oleh peneliti adalah benar. Penulis harus menyadari (berbeda dengan bentuk bacaan ringan seperti koran dan majalah) bahwa pembaca jurnal adalah kalangan khusus diantara ilmuwan, intelektual, praktisi untuk dan sedikit banyak mengerti tentang kajian ilmiah. Penulis dituntut menuangkan tulisan secara sistematis dan tidak menggunakan bahasa “lelucon” atau “humor”. Diperkiran bagian ini dituangkan dalam 2-3 halaman ukuran A4, dan diketik 1,5 spasi.
METODE (Penelitian)
Pada bagian ini, peneliti mencantumkan prosedur sistematis penelitian, termasuk teknik pengambilan sampel, teknik pengukuran, dan teknik analisis data. Uraian ditulis beberapa paragraf dan tanpa subbagian. Penelitian yang menggunakan alat dan bahan tertentu, maka perlu ditulis spesifikasi alat dan bahan tersebut. Dengan spesifikasi alat, penulis meyakinkan kepada penulis tentang kecanggihan alat, sedang dengan spesifikasi bahan, penulis meyakinkan bahwa penelitiannya berbeda dengan penelitian orang lain yang memiliki variabel mungkin sama. Sedang khusus artikel yang memat hasil penelitian kualitatif, peneliti disarankan merinci mengenai kehadirannya, subyek penelitian dan informan serta teknik memperoleh data penelitian, tempat penelitian dan waktu penelitian. Peneliti juga harus meyakinkan bagaimana ia menvalidasi data kualitatifnya.
HASIL (penelitian)
Bagian ini merupakan bagian utama artikel hasil penelitian. Dalam bagian ini peneliti dituntut untuk memberi penjelasan yang sangat detail dan lengkap. Terpotongkan bagian tertentu dari hasil penelitian menyebabkan salah penafsiran terhadap hasil tersebut. Oleh karenanya, peneliti boleh menuangkan tulisannya dengan cukup panjang, boleh dibilang bahwa bagian ini merupakan bagian paling panjang diantara bagian artikel lainnya. Perlu diperhatikan, bahwa dalam bagian ini, penulis tidak perlu mencantumkan proses analisis data statistic, cukup hasilnya saja yang dapat dituangkan dalam bentuk paagraf, table maupun grafis. Pada pokoknya, peneliti mencantumkan hasil analisis dan hasil pengujian hipotesis. Data hasil penelitian yang dituangkan dalam bentuk table maupun grafis harus diberikan padan ya makna serta uraian yang menggambarkan arti dari table maupun grafik tersebut.
Pemilahan dengan melalui subbagian diperolehkan jika dipandang hasil penelitian terlalu panjang, serta disajikan secara terpisah sesuai dengan masalah penelitian. Khusus mengenai penulisan hasil penelitian kualitatif, bagian ini bermuatan suptopik-subtopik sesuai dengan fokus penelitiannya.
PEMBAHASAN
Bagian ini adalah bagian dimana peneliti menuangkan gagasan, pikiran serta pemahaman terhadap hasil penelitian berdasarkan berspektif dirinya, perspektif teori dari ahli yang diambil maupun pandangan yang berbeda dari kajian ahli yang berbeda. Peneliti harus mampu mengkaji mengapa itu terjadi, implikasi-imlikasi ilmiah maupun empiric maupun ilmplikasi praktis jika penelitian tersebut berhubungan dengan materi paraktis. Peneliti juga menjawab masalah penelitian, member penjelasan bagaimana tujuan penelitian itu dicapai, atau bagaimana paradigma yang diajukan dan diuji dapat sesuai, serta menafsirkan temuan yang ada. Peneliti juga mengelaburasi, dan mengintegrasi hasil temuannya dengan hasil penelitian orang lain maupun teori besar yang sudah mapan. Bahkan peneliti dapat memodifikasi teori yang ada ataupun memodifikasi teori yang ada berdasarkan hasil penelitian yang dicapai.
Panafsiran terhadap hasil temuan dilakukan dengan logika, dan teori-teori yang ada. Kemudian hasil temuan penelitian diintegrasikan dengan kedalam lingkup pengetahuan yang ada, hasil temuan penelitian yang lain serta mengelaborasikan dapat sebuah kajian yang logis, sistematis dan mudah dipahami. Kerangka kajian ini sangat diperlukan agar penelitian yang dilakukan tidak seperti koleksi data di lapangan lantas dilaporkan atau dipublikasikan.




KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam menulis kesimpulan, hendaknya peneliti benar-benar menukik pada permasalahan dan fakta-fakta yang didapatkan. Kesimpulan sebaiknya disajikan dalam bentuk poin-poin dari hasil penelitian dan pembahasan. Banyak peneliti yang menulis kesimpulan berbeda dengan hasil, namun lebih pada kajian yang dikehendaki. Peneliti tidak perlu risau kalau memang (misalnya) hipotesis tidak teruji. Penelitian tetap berhasil, hanya mengapa hal itu terjadi, peneliti harus mampu member penjelasan yang tuntas.
Saran disusun berdasarkan kesimpulan yang ditarik, dan bukan berupada saran bagaimana sebaiknya. Banyak peneliti yang member saran sangat umum mengenai tindakan yang normative yang tidak mungkin salah, serta sama sekali tidak menyentuh hasil penelitian yang ada. Bahkan dalam saran ini, peneliti boleh merinci sampai pada tingkat teknik yang berdasar, dan tidak sekedar saran umum yang diambil dari simpulan yag ada.
DAFTAR RUJUKAN
Daftar rujukan ditulis berurutan berdaar alphabet, dan menulis nama harus benar. Orang-orang barat biasanya ditulis dengan nama belakang diletakkan di depan bagi penulis tunggal atau penulis pertama untuk rujukan yang ditulis oleh orang secara berkelompok. Untuk anggota kelompok, tulisan nama disajikan apa adanya.
(2) Atikel Non Penelitian
Artikel non penelitian adalah tulisan ilmiah yang berupa kajian mendalam tentang teori, gagasan inovetif atau analisis meta dan bukan hasil penelitian. Artikel kategori ini memuat tori, tulisan mengenai suatu teori, konsep, atau prinsip yang dibahas dengan tujuan spesifik memecahkan masalah secara khusus dan mendalam. Di samping itu, artikel dapat berisi pengembangan sebuah model (missal: pembelajaran), rangkuman sejumlah artikel yang memiliki fokus sma atau serumpun dan bisa berupa referensi buku baru. Karena banyaknya jenis artikel ini, penyajiannya juga berbeda-beda.


Isi dan Sitematika
Sistematika tulisan artikel nonpenelitian sedikit berbeda denan artikel penelitian. Unsur pokok dalam artikel ini meliputi: (1) judul artikel, (2) nama penulis, (3) abstrak, (4) pendahuluan, (5) bagian inti, (6) penutup dan (7) daftar rujukan.

JUDUL
Susunan judul dan jumlah kata tidak berbeda dengan judul artikel hasil penelitian. Judul berisi label dari materi, fokus dan permasalahan yang dikaji. Judul artikel non penelitian harus dapat mewakili seluruh yang diuraikan dalam bagian inti artikel.
NAMA PENULIS
Teknis penulisan nama dalam artikel non penelitian sama dengan penulisan nama dalam artikel penelitian, yakni nama (tanpa gelar akademik) diikuti alamat yang dapat dihubungi (nomor telepon dan alamat email dapat dicantumkan juga) di bawah nama. Penyebutan nama lembaga tempat bekerja (dapat dilakukan tanpa menyebut jabatan) dan dilengkapi alamat lengkap nama jalan dan nomor bangunan.
ABSTRAK DAN KATA KUNCI
Seperti juga halnya abstrak dan kata kunci dalam artikel penelitian, abstrak dan kata kunci dalam artikel non penelitian adalah bagian penting, karena abstrak dan kata-kata kunci dapat memberi arahan kepada calon pembaca yang sedang menelusuri artikel dalam masalah tertentu untuk tidak harus membaca keseluruhan teks artikel sebelum ia yakin bahwa artikel tersebut memang kajian yang sedang dicari. Abstrak terdiri dari satu alinea, dan memuat ide-ide yang paling penting.
PENDAHULUAN
Isi tulisan dalam bagian pendahuluan berupa uraian dan abstraksi mengenai kesenjangan di didapati dalam tempat kerja, masyarakat maupun sumber-seumber lain. Dalam pendahuluan penulis tetap harus mengkaji permasalahan dan kejanggalan yang didapatkan bahkan penulis harus menguraikan mengapa gagasan itu muncul dan perlu dirumuskan. Alasan-alasan dapat hasil kajian dedukti, renungan logis maupun alasan teoritik.
BAGIAN INTI
Pada bagian ini ini, penulis memaparkan seluruh gagasan analisis teoritik, karya enovatif maupun hasil karya pengembangan produk tertentu. Karena penulis tidak melakukan penelitian, maka dalam bagian ini penulis harus mampu menguraikan argumentasi teoritik, produk (spesifikasi dan kelebihan) serta pemaparan logis mengenai prediksi-prediksi. Misalnya guru mengkaji tentang “strategi penumbuh-kembangan” minat baca bagi anak usia dini, maka di dalam kajiannya guru menganalisis secara psikologis tahap-tahap perkembangan anak pada usia pra-sekolah yang mengandung sifat-sifat anak usia 3 tahun, prediksi-prediksi ilmiah yang didasarkan atas kajian teori dan penelitian orang lain serta teknik-teknik logis dan tahapan sistematis bagaimana penumbuh-kembangan minat baca anak. Tidak kalah pentingnya adalah argumentasi logis bagaimana penulis berkeyakinan bahwa langkah-langkah yang dituangkan adalah efektif, serta strategi yang ditawarkan adalah logis. Kajian spesifik akan berbeda jika dibandingkan guru yang mengembangkan strategi “penumbuh-kembangan” minat baca anak usia sekolah dasar kelas rendah maupun sekolah menengah.
Hasil-hasil penelitian orang lain akan memperkuat argumentasi penulis untuk mengkaji ke”mengapaan” dan prediksi-prediksi yang ditargetkan. Di samping hasil pengembangan, dalam bagian ini penulis dapat memaparkan argumentasi ilmiah yang luas dan mendalam mengenai sejumlah hasil penelitian orang lain. Argumentasi penulis boleh me”breack-down” atau menguraikan hasil penelitian orang lain tersebut menjadi sebuah tindakan implementatif yang sistematis dan praktis, boleh berupa kajian atau argumentasi penguatan maupun argumentasi tandingan yang didasarkan pada pendapat orang lain. Di samping mengkaji sejumlah hasil penelitian orang lain, dalam bagian ini penulis juga dapat mengkaji buku yang ditulis oleh orang lain. Buku karya tersebut dijelaskan secara implementatif, dirinci secara praktis maupun dilakukan pembandingan dengan buku-buku karangan penulis sendiri. Pendek kata, penurunan (baik hasil penelitian maupun buku yang ditulis orang lain), dalam bagian ini penulis melakukan kajian yang memperjelas, menurunkan menjadi teknik yang mudah diterapkan, maupun mengutarakan kajian yang bersifat pembandingan.
Tim penulis Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang diterbitkan oleh Universitas Negeri Malang menjelaskan langkah yang ditempuh oleh penulis dalam memaparkan argumentasinya dalam bagian ini yaitu: (1) meng-identifikasi tipe isi yang akan dideskripsikan, (2) menetapkan struktur isi, (3) menata isi ke dalam strukturnya, (4) menata urutan isi, dan (5) mendeskrip-sikan isi dengan mengikuti urutan yang telah ditetapkan.
Mengidentifikasi tipe isi yang akan dideskripsikan mengadung pengertian bahwa kajian yang dituangkan apakah berupa konsep, prosedur ataupun langkah teknis- metodis. Masing-masing tipe memiliki keunikan tersendiri dalam pemaparannya oleh karena itu penulis harus konsisten dalam menulis kajian dan analisisnya. Konsep bersifat abstrak yang didasarkan pada kaidah teori dan paradigma yang diajukan dan biasanya kurang mengandung contoh-contoh tindakan kongkrit. Prosedur biasanya berupa urutan sistematis langkah-langkah teknik-metodik dan dapat disertakan contoh pelaksanaannya. Isi tulisan bersifat pemaparan kajian matang dan tidak terlalu argumentatif. Prinsip lebih bersifdat kaidah-kaidah teoritik yang padanya didasarkan beberapa prosedur teknis yang dituangkan. Seperti halnya konsep, prinsip dituangkan dalam bahasa yang tegas tapi masih abstrak dan argumentatif. Sedangkan kajian yang berupa langkah-langkah teknis-metodis biasanya dituangkan dalam bahasa yang mudah dimengerti dan praktis. Misalnya guru menguraikan tentang teknik dan metode dalam “memberikan balikan terhadap hasil pekerjaan tugas kelompok.” yang diberikan oleh guru Sekolah Dasar kepada muridnya. Memberikan balikan terhadap hasil pekerjaan tugas kelompok sepertinya tindakan yang mudah. Namun jika dikaji lebih mendalam, balikan itu apakah efektif meningkatkan kompetensi siswa? Balikan itu apakah mendukung pencapaian tujuan pembelajaran? Dll.
Menetapkan struktur isi adalah langkah berikutnya setelah penulis memertegas tipe kajian yang ditulisnya. Struktur isi adalah urutan sistematis dari konsep-konsep dasar yang dituangkan maupun materi-materi logis yang dipaparkan. Struktur isi dibuat terlebih dahulu sebelum penulis menuangkan kajiannya secara panjang lebar agar keseluruhan tulisan dapat mencakup seluruh isi materi yang seharusnya termasuk serta meninggalkan materi yang memang seharusnya tidak masuk. Disamping itu, dengan penetapan struktur isi terlebih dahulu, penulis dapat menata tataurutan kajian secara logis dan mudah dimengerti maknanya oleh pembaca tanpa harus mengulang-ulang kegiatan membacanya.
Menata isi kedalam strukturnya artinya penulis menuangkan tulisan materi tertentu kedalam struktur isi yang sesuai, dan tidak “salah masuk kamar” sehingga dengan membaca topik-subtopik maupun judul-subjudul pembaca sudah menebak isi kandungan yang akan dibaca secara mendalam. Menata urutan isi artinya penulis menyusun isi mana yang harus didahulukan dan isi yang mana yang harus dituangkan kemudian. Sedangkan mendeskrip-sikan isi dengan mengikuti urutan yang telah ditetapkan merupakan kegiatan menulis itu sendiri. Dalam langkah ini penulis menuangkan panjang lebar tentang konsep, prosedur, prinsip maupun teknis-metodis sesuai dengan tipe mana yang telah dipilih oleh penulis. Di sinilah penulis menuangkan kajian, analisis dan argumentasi mengani ide yang ditawarkan.
PENUTUP
Dalam menulis kesimpulan, hendaknya penulis benar-benar menukik pada permasalahan dan kaidah-kaidah serta proposisi yang didapatkan. Kesimpulan sebaiknya disajikan dalam bentuk poin-poin dari hasil kajian dan pembahasan. Banyak penulis yang mencantumkan kesimpulan berbeda dengan kajian inti, namun lebih pada kajian yang dikehendaki. Saran disusun berdasarkan kesimpulan yang ditarik, dan bukan berupada saran bagaimana sebaiknya. Banyak penulis yang memberi saran sangat umum mengenai tindakan yang normative yang tidak mungkin salah, serta sama sekali tidak menyentuh hasil kajian yang ada. Bahkan dalam saran ini, penulis boleh merinci sampai pada tingkat teknik yang berdasar, dan tidak sekedar saran umum yang diambil dari simpulan yag ada.
DAFTAR RUJUKAN
Daftar rujukan ditulis berurutan berdaar alphabet, dan menulis nama harus benar. Orang-orang barat biasanya ditulis dengan nama belakang diletakkan di depan bagi penulis tunggal atau penulis pertama untuk rujukan yang ditulis oleh orang secara berkelompok. Untuk anggota kelompok, tulisan nama disajikan apa adanya.

MODEL PEMBELAJARAN NHT ( NUMBERED HEAD TOGETHER )

April 22, 2009 oleh Herdian,S.Pd., M.Pd.

NHT (Numbered Head Together)
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Para siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dan diarahkan untuk mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan. Tujuan dibentuknya kelompok kooperatif adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan dalam kegiatan-kegiatan belajar. Dalam hal ini sebagian besar aktifitas pembelajaran berpusat pada siswa, yakni mempelajari materi pelajaran serta berdiskusi untuk memecahkan masalah
Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. Tipe ini dikembangkan oleh Kagen dalam Ibrahim (2000: 28) dengan melibatkan para siswa dalam menelaah bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut.
Ibrahim mengemukakan tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT yaitu :
1. Hasil belajar akademik stuktural
Bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.
2. Pengakuan adanya keragaman
Bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai latar belakang.
3. Pengembangan keterampilan social
Bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa.
Keterampilan yang dimaksud antara lain berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT merujuk pada konsep Kagen dalam Ibrahim (2000: 29), dengan tiga langkah yaitu :
a) Pembentukan kelompok;
b) Diskusi masalah;
c) Tukar jawaban antar kelompok
Langkah-langkah tersebut kemudian dikembangkan oleh Ibrahim (2000: 29) menjadi enam langkah sebagai berikut :
Langkah 1. Persiapan
Dalam tahap ini guru mempersiapkan rancangan pelajaran dengan membuat Skenario Pembelajaran (SP), Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
Langkah 2. Pembentukan kelompok
Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 3-5 orang siswa. Guru memberi nomor kepada setiap siswa dalam kelompok dan nama kelompok yang berbeda. Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, ras, suku, jenis kelamin dan kemampuan belajar. Selain itu, dalam pembentukan kelompok digunakan nilai tes awal (pre-test) sebagai dasar dalam menentukan masing-masing kelompok.
Langkah 3. Tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan
Dalam pembentukan kelompok, tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan agar memudahkan siswa dalam menyelesaikan LKS atau masalah yang diberikan oleh guru.
Langkah 4. Diskusi masalah
Dalam kerja kelompok, guru membagikan LKS kepada setiap siswa sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok setiap siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban dari pertanyaan yang telah ada dalam LKS atau pertanyaan yang telah diberikan oleh guru. Pertanyaan dapat bervariasi, dari yang bersifat spesifik sampai yang bersifat umum.
Langkah 5. Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban
Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban kepada siswa di kelas.
Langkah 6. Memberi kesimpulan
Guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang disajikan.
Ada beberapa manfaat pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap siswa yang hasil belajar rendah yang dikemukakan oleh Lundgren dalam Ibrahim (2000: 18), antara lain adalah :
1. Rasa harga diri menjadi lebih tinggi
2. Memperbaiki kehadiran
3. Penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar
4. Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil
5. Konflik antara pribadi berkurang
6. Pemahaman yang lebih mendalam
7. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
8. Hasil belajar lebih tinggi

http://herdy07.wordpress.com/2009/04/22/model-pembelajaran-nht-numbered-head-together/