Sabtu, 15 Januari 2011

CONTOH HASIL KAJIAN KRITIS

Materi Disajikan pada Pelatihan Pengembangan Modul BBM BERMUTU KKG
Di Hotel Grand Jaya Raya Bogor Juni 2010


Esensialisme Budaya dan Pragmatisme Politik


Untuk waktu yang sangat lama, teori sosial dan kalangan politik dikuasai oleh gagasan esensialis tentang kebudayaan. Secara sederhana, dalam gagasan esensialis diandaikan dan dipercaya begitu saja bahwa kebudayaan terdiri dari nilai dan norma yang telah selesai, sempurna, baku, berdiri sendiri dan tidak tersentuh lagi oleh perilaku budaya dalam kehidupan nyata. Tegasnya, dalam gagasan esensialis, peranan para pendukung kebudayaan dalam memberi bentuk dan isi kebudayaan diabaikan. Manusia dibentuk oleh budayanya, bukan manusia yang membentuk budayanya. Seseorang menjadi Sunda karena budayanya, demikian pula seorang menjadi Minang karena budayanya. Seorang Jawa yang hidup di budaya Jepang akan menjadi Jepang secara budaya.
Asumsi yang dianut gagasan esensialis adalah bahwa perilaku sekelompok orang bergantung pada nilai dan norma yang dianutnya. Jadi, untuk mengubah perilaku budaya, perlu terlebih dulu diubah seluruh perangkat nilai dan norma kebudayaan yang menjadi pedomannya. Ada semacam kepercayaan yang bersifat Platonis bahwa nilai dan norma budaya berada pada sebuah “dunia ide-ide” yang otonom, sedangkan perilaku budaya hanya merupakan pantulan dan tiruan yang kurang sempurna dari dunia ide tersebut. Kalau ada yang menyimpang dalam kebudayaan, maka yang harus diubah adakah perilaku budaya, bukan nilai dan norma budaya. Secara populer, pemikiran tersebut diabadikan dengan slogan: Jangan salahkan budaya, tapi salahkanlah perilakunya!
Mengapa gagasan esensialis tentang kebudayaan demikian dominan? Secara ilmiah, gagasan esensialis dipengaruhi gagasan positivisme yang memandang budaya sebagai barang jadi yang dapat diteliti secara empiris gejala dan polanya. Positivisme menangkap kehadiran budaya dengan pola-pola yang sudah terbentuk dan tidak berupaya untuk menangkap proses pembentukan (konstruksi) budaya. Dalam proses pembentukan budaya akan terlihat kekuasaan dan kepentingan berbagai gagasan yang membentuk budaya dalam suatu konteks sejarah yang kongkrit. Setiap budaya ada riwayat hidupnya dan konstruksi sosial adalah semacam biografi tentang budaya dimaksud.
Jadi, jika dominannya gagasan esensialis dilihat dari konteks sejarah yang diwarnai banyak kekuasaan dan kepentingan, kita akan melihat bahwa gagasan esensialis adalah argumen pragmatis untuk menghindari tanggungjawab budaya dengan cara memisahkan nilai budaya dan perilaku budaya. Ketika mempropagandakan pribumi sebagai pemalas, penjajah dulu pada dasarnya menimpakan kemiskinan dan kemelaratan pada pribumi yang malas, sementara seluruh usaha mereka menjarah dan mengeruk kekayaan Indonesia ke luar negeri tidak disinggung. Di jaman sekarang, peran kolonial diganti oleh koruptor yang bernalar dan menjustifikasi perbuatan dengan alasan maraknya budaya korupsi, selain juga maraknya budaya nepotisme dan budaya kekerasan: kekerasan fisik dalam rumah tangga (KDRT), dalam berbagai demo ’pesanan’ atau dalam berbagai pembagian bantuan, tunai atau sembako serta kekerasan mental ketika di tengah rakyat kelaparan, pejabat tinggi justru minta naik gaji dan/atau korupsi (Diadaptasi dari: Kleden, 2001:17-22).




Kajian Kritis terhadap Bacaan Esensialisme Budaya dan Pragmatisme Politik

Pertama-tama harus dicatat bahwa pada tataran teori, penyamaan gagasan esensialis dengan gagasan Platonis adalah tepat hanya dalam arti tertentu. Namun, jika mengingat pandangan Whitehead yang mengatakan semua filosofi adalah catatan kaki saja pada filosofi Plato, Plato tentulah di atas dan mengatasi semua aliran filosofi. Karena meliput semua aliran, maka selalu aktual dan dalam arti demikian dapat dikatakan esensialis. Plato lebih tepat disebut idealis. Tepatnya istilah idealis buat Plato semata-mata karena suatu pandangannya tentang sulitnya menjelaskan bagaimana orang bisa tahu sesuatu. Orang tahu karena pernah diberi tahu di alam ideal (di saat orang bersangkutan bahkan tidak menyadarinya).
Dari kurang tepatnya memahami makna esensialisme, maka jelas saja menuntun ke kesimpulan salah ’esensialisme dipengaruhi positivisme’. Jika pun dapat diposisikan, esensialisme berada pada posisi bersebrangan dengan postivisme: bagaimana yang satu dapat mempengaruhi yang lain? Secara garis besar, esensialisme berpandangan bahwa ada nilai-nilai yang selalu aktual dari jaman ke jaman. Suatu ’slogan’nya adalah hal yang baik itu selalu aktual, hal yang aktual belum tentu baik. Sementara itu, positivisme berpandangan bahwa hanya hal yang terbukti dan terlihat secara empiris saja yang bermakna atau benar.
Selanjutnya, pada tataran praktek atau tepatnya penarapan teori pada praktek, maka dalam bacaan tersebut, satu-satunya dapat diterima adalah bahwa positivisme ’menangkap kehadiran budaya dengan pola-pola yang sudah terbentuk dan tidak berupaya untuk menangkap proses pembentukan (konstruksi) budaya’. Kemudian, kesimpulan ’gagasan esensialis adalah argumen pragmatis untuk menghindari tanggungjawab budaya dengan cara memisahkan nilai budaya dan perilaku budaya’ semestinya diubah menjadi ’gagasan positivis adalah argumen pragmatis untuk menghindari tanggungjawab budaya dengan cara memisahkan nilai budaya dan perilaku budaya’. Oleh karena itu, secara keseluruhan, penulis salah memahami gagasan esensialis. Sederhananya, jika kata ’esensialis’ diganti dengan ’positivis’ maka ’kebenaran’ bacaan dapat diterima.
Akhirnya, kajian atas bacaan dari sisi teori dan praktek kiranya baru meliput ‘dunia’ objektif, ‘dunia’ normatif dan ‘dunia’ kebahasaan saja. Dari ‘dunia’ subjektif, kita dapat bertanya: mengapa penulis melakukan kekeliruan tersebut? Apa yang dapat kita ambil pelajaran dari kekeliruan tersebut? Jawab atas pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab sejauh mana kita mengenal penulis dan apa kepentingan kita ketika kita memutuskan untuk membaca tulisannya.

Tidak ada komentar: