Jumat, 21 Januari 2011

Pendekatan Postmodernisme dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Kaitannya dengan Positivisme dan Antipositivisme

Oleh: Irman Yusron (Staf Datin, P4TK IPA Bandung)

Untuk menguaraikan penedekatan posmodermisme dalam ilmu sosial dan kaitannya dengan positivisme dan antipositivisme, dalam tulisan ini penulis membagi menjadi empat bagian. Pada bagian pertama, penulis menguraikan tentang asal-usul pemikiran positivisme, termasuk apa dan bagaimana positivisme itu. Pada bagian dua, penulis menguraikan bagaimana pemikiran positivisme itu dikritik oleh beberapa orang pemikir, dimana mereka dapat digolongkan ke dalam paham antipositivisme. Bagian tiga, penulis menguraikan bagaimana paham postmodernisme berkembang sebagai kritik terhadap positivisme. Bagian empat, penulis memberikan kesimpulan terhadap uraian pada bagian satu sampai bagian tiga, sekaligus memberikan pendapat terhadap pertanyaan yang diajukan pada judul tulisan ini.



1. Apa dan Bagaimana Positivisme

Positivisme sebagai suatu pendekatan, cara pandang, perspektif, paradigma, ataupun filsafat ilmu, telah memberikan banyak warna yang khas dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial. Padahal, pada awalnya positivisme digunakan untuk menjelaskan gejalan-gejalan alam melalui penelitian empirik. Penganut positivis memiliki pemahaman bahwa gejala alam dapat diukur melalui metode-metode penelitian emprik, sehingga melalui penelitian tersebut didapat hukum-hukum kehidupan (hukum-hukum alam). Hukum-hukum alam tersebut menurut positivisme, hanya merupakan pernyataan keteraturan hubungan yang terdapat di antara gejala-gejala empiris (Hasbiansyah, 2000). Untuk menemukan hukum-hukum alam, maka ilmu pengetahuan disusun secara sistematis untuk mengumpulkan data-data empiris. Alam, sebagai objek kajian pemikir positivisme, tidak hanya terbatas pada lingkungan fisik seperti langit, bintang, bulan, bumi, angin, air, dan sejenisnya. Akan tetapi, manusia dan kehidupannya pun dijadikan objek penelitian, karena manusia dianggap bagian dari alam. Positivisme lebih dikenal sebagai cara pandang ilmu alamiah.

Menurut Hasbiansyah (2000), perintis positivisme adalah August Comte (1798-1857). Comte berpendapat bahwa melalui positivismelah ilmu pengetahuan dikembangkan secara ilmiah. Comte telah membagi sejarah ilmu pengetahuan dalam tiga tahapan perkembangan intelektual manusia. Tahap pertama, menurut Comte adalah tahap teologis (theological), terjadi sebelum tahun 1300 M. Pada tahap ini, manusia menafsirkan gejala-gejala disekitarnya secara teologis dengan kekuatan roh dewa atau tuhan. Semua fenomena yang ada dan yang terjadi dalam kehidupan, selalu dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan gaib (supranatural) yang dianggap sebagai hasil tindakan langsung dari roh dewa atau tuhan. Misalnya, gunung meletus dianggap sebagai murka dewa, atau hujan turun dianggap bahwa dewa sedang berbelas kasih. Pengetahuan pada tahap ini dipandang sebagai hal yang absolut.

Tahun 1300 – 1800 M merupakan tahap kedua. Oleh Comte disebut tahap metafisis (metaphysical). Pada tahap ini, manusia menganggap di dalam setiap gejala alam yang terjadi, terdapat kekuatan-kekuatan abstrak yang dapat diungkapkan. Hampir sama dengan tahapan pertama, manusia tidak memiliki kemampuan untuk mencari sebab akibat dari gejala alam yang terjadi tersebut. Perbedaannya adalah terhadap cara pandang pada gejala alam, dimana pada tahap kedua ini suatu fenomena dipandang sebagai manifestasi dari suatu hukum alam yang tidak berubah. Sebagai contoh, bila melihat awan berwarna hitam, maka akan turun hujan. Pengetahuan ini disimpan dalam benak manusia, karena berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang, apabila awan berwarna hitam maka pertanda akan turun hujan. Akan tetapi, pada pemikiran manusia tahap ini belum mampu menjelaskan mengapa terjadi demikian.

Tahap ketiga terjadi mulai tahun 1800 M. Tahap ini disebut tahap positif (positivistic). Pada tahap ini, manusia telah mampu bepikir dan mampu mencari hukum-hukum sebab-akibat terhadap alam semesta dan kehidupan manusia. Apa yang diketahui manusia semuanya berasal dari pengalaman inderawi (data empiris). Inilah yang disebut positivisme.

Menurut bahasa (semantis), postivisme berasal dari kata positif (positive). Istilah positif oleh Comte diartikan sebagai “apa yang berdasarkan fakta”. Positivisme selalu menekankan bahwa pengetahuan itu tidak boleh melebihi fakta (Hasbiansyah, 2000).

Selanjutnya Comte memberikan lima arti terhadap kata “positif” atau positivisme, yaitu:

Ø Positif dalam arti “yang nyata”. Semua pengetahuan harus terbukti melalui rasa kepastian pengamatan sistematis yang menjamin intersubjektivitas.

Ø Positif dalam arti “yang pasti”. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian. Keshahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode.

Ø Positif dalam “yang tepat”. Ketepatan pengetahuan kita dijamin oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh, yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum.

Ø Positif dalam arti “yang berguna”. Pengetahuan ilmiah harus digunakan secara teknis. Ilmu pengetahuan memungkinkan kontrol teknis atas proses-proses alam maupun sosial.

Ø Positif dalam arti “yang mengklaim memiliki kebenaran relatif”. Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan ‘sifat relatif dari semangat positif’ (Hasbiansyah, 2000) .

Menurut Jalaluddin Rakhmat, seperti yang dikutip Hasbiansyah (2000), positivisme dapat diidentifikasi melalui lima asumsi dasarnya, yaitu:

v Realisme naif atau istilah lainnya adalah objektivisme. Realisme naif mengandung arti berarti bahwa positivisme dibangun di atas pandangan asumsi ontologis, yaitu mengenai realitas tunggal dan objektif. Realitas dapat dipecah menjadi bagian-bagian kecil yang dapat diteliti secara terpisah.

v Dualisme peneliti-objek. Yaitu peneliti dan yang diteliti. Bagi positivisme peneliti dan yang diteliti merupakan dua hal yang terpisah secara tegas. Interaksi keduanya dapat dieliminasi, bahkan dapat dapat disingkarkan melalui metode tertentu. Metode ilmiah, dalam positivisme, dipandang mampu menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan pengarauh peneliti terhadap yang diteliti. Pemisahan antara peneliti dan yang diteliti berlaku dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.

v Generalisasi, yaitu bahwa positivisme mengasumsikan keterlepasan observasi dari faktor waktu dan konteks. Apa yang benar pada satu waktu dan tempat, juga akan benar pada waktu dan tempat yang lain. Hasil pengamatan sampel dapat dijadikan estimasi untuk keseluruhan populasi.

v Kausalitas linear. Hubungan sebab akibat merupakan prinsip alam yang ingin ditemukan positivisme dalam ilmu. “Bila X berlaku, maka Y akan terjadi”. Pernyataan ini memiliki isi empiris yang dapat dicek secara inderawi, misalnya, “bila air dipanaskan 100 derajat, maka akan mendidih”. Pernyataan ini mengandung prognisis, yaitu dapat diramalkan dan dapat dikendalikan berdasarkan syarat atau kondisi yang sudah ditentukan.

v Bebas nilai. Kebebasan nilai dalam ilmu pengetahuan mengimplikasikan dualisme antara pengetahuan yang rasional dan objektif di satu pihak, dan keputusan-keputusan yang berdasarkan norma dan subjektif di pihak lain. Keduanya merupakan hal yang terpisah. Yang pertama merupakan fakta, sedangkan yang kedua merupakan keputusan bagaimana manusia bertindak atau berprilaku. Positivisme beranggapan bahwa yang kedua bukanlah fakta, karena sifatnya subjektif. Sesuatu yang subjektif, dalam pandangan positivisme akan sulit mengontrol nilai dan tidak bisa diterapkan untuk semua orang. Dengan demikian, kaum positivis berpendapat bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Ilmu adalah demi ilmu.

Demikianlah sekilas pandangan mengenai apa dan bagaimana positivisme itu. Walaupun diuraikan secara singkat, akan tetapi dapat memberikan gambaran bahwa positivisme dibentuk dengan objektif-empiris, yaitu ilmu lahir dari hasil pengukuran yang teramati, dikuantifikasi, kemudian merumuskan generalisasinya.



2. Kritik terhadap Positivisme oleh Antipositivisme

Bertolak dari asumsi-asumsi positivisme, maka kritikan terhadap positivisme ditujukan sebagai kontra argumen bagi kaum positivis. Kelima asumsi positivisme yang diuraikan di atas dikritik dengan memberikan argumentasi yang berlawanan. Kritikan tersebut dapat dijelaskan berikut ini.

¨ Realitas naif (versus) Realitas hasil konstruksi. Studi fenomenologi menyatakan bahwa setiap orang memiliki pengalaman yang unik tentang realitas. Bila dalam positivisme realitas bersifat objektif dan tunggal, maka paham antipositivisme memandang bahwa realitas muncul secara beragam sesuai dengan masing-masing orang memandang sesuatu objek. Menurut antipositivisme, tidak ada realitas tunggal. Ketika diperlihatkan sebuah gambar (karikatur) kepada penduduk suatu desa, maka masing-masing orang cenderung akan merekonstruksi gambar (realita) tersebut secara berbeda. Pertanyaan akan muncul, mana sebenarnya yang disebut realitas objektif, apakah realitas menurut si perancang gambar (menurut kaum positivis), atau realitas menurut orang-orang yang menjadi sasaran. Tidak bisa dipastikan mana yang disebut realitas yang sebenarnya, sebab terjadinya perbedaan realitas hasil konstruksi sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan norma-norma individu dalam suatu sistem masyarakat.

¨ Dualisme peneliti-objek (versus) Pengamat partisipan. Pemisahan antara peneliti dengan objek yang diteliti dalam positivisme, dikritik oleh kaum antipositivis. Antipositivisme memandang bahwa peneliti dan objek yang diteliti sulit dipisahkan. Interaksi keduanya akan mempengaruhi hasil pengamatan (penelitian). Prosudur-prosudur metodologis dalam ilmu-ilmu alam, menurut positivisme dapat diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Sebab, menurut positivisme, subjektifitas manusia dipandang tidak akan mengganggu objek pengamatan. Hal ini dibantah oleh antipositivisme. Antipositivisme memandang bahwa subjektifitas manusia akan mempengaruhi hasil pengamatan.

¨ Generalisasi (versus) Tidak ada generalisasi. Menurut kaum antipositivis apa yang menjadi jaminan bahwa dari sejumlah penggalan-penggalan observasi terhadap sampel, dapat ditarik kesimpulan secara umum yang berlaku untuk semua populasi. Generalisasi yang ditarik dari ribuan keterangan berdasarkan observasi, akan menjadi sia-sia bila kemudian ditemukan satu observasi yang bertentangan dengan generalisasi tadi.

¨ Kausalitas linear (versus) Kausalitas banyak/multiple causality. Pada positivisme, hubungan sebab akibat menjadi disederhanakan antara satu fakta dengan fakta lainnya. Menurut positivisme, jika X menyebabkan Y, (misalnya, jika suhu 100 derajat menyebabkan air mendidih), maka kedua variabel tadi dipandang memiliki hubungan pasti, tanpa intervensi variabel lainnya. Akan tetapi kaum antipositivis memandang bahwa jika Y disebabkan oleh X, maka sebenarnya bukan X saja yang menyebabkan Y. Akan tetapi banyak faktor lain yang menyebabkan terjadinya Y. Hubungan sebab akibat yang linear pada postivisme menimbulkan reduksi terhadap realitas yang sebenarnya, karena mengabaikan faktor lain tersebut.

¨ Bebas nilai (versus) Sarat nilai. Antipositivisme memandang bahwa dalam penelitian, keterlibatan kepentingan dan nilai merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Berbeda dengan positivisme yang beranggapan bahwa penentuan tujuan penelitian dan kerangka acuan teoretis, persoalan nilai akan ikut campur, akan tetapi untyuk mencapainya harus menggunakan sarana-sarana yang bebas nilai. Akan tetapi pandangan positivisme ini dibantah oleh Habermas (1968), menurut Habermas, bagaimanapun juga sarana dan tujuan tidak lagi dapat dipisahkan. Oleh karena itu, ketika suatu ilmu pengetahuan sudah ditumpangi nilai oleh ilmuwan, maka ilmu tersebut harus tunduk untuk kepentingan manusia, dan nilai yang yang positif bagi perkembangan kehidupan manusia. Apabila ilmu dikembangkan tanpa dasar nilai yang positif, maka ilmu cenderung akan disalahgunakan untuk menghancurkan kehidupan umat manusia sendiri.



3. Postmodernisme dengan Penggunaannya di Berbagai Bidang

Menurut Bambang Sugiharto (2000), postmodernisme adalah istilah yang sangat kontroversial. Di satu pihak istilah ini kerap digunakan untuk mengolok-olok atau reaksioner terhadap perubahan-perubahan sosial yang sedang berlangsung. Di pihak lain, istilah ini telah memikat banyak minat masyarakat untuk mengartikulasikan beberapa krisis dan perubahan sosio-kultural fundamental yang sedang terjadi. Postmodernisme dalam pandangan Sugiharto bagai rimba belantara yang dihuni aneka satwa yang bisa sangat berbeda-beda jenisnya. Dengan demikian postmodernisme memiliki pengertian yang sangat longgar. Postmodernisme digunakan untuk “memayungi” segala aliran pemikiran yang satu sama lainnya seringkali tidak persis saling berkaitan. Walaupun demikian, Sugiharto mengelompokan postmodernisme menjadi dua kubu, yaitu kubu yang dekonstruktif dan kubu yang konstruktif. Kelompok yang dekonstruktif dapat dimasukan pemikiran-pemikiran Derrida, Lyotard, Faoucult, dan Rorty. Pada kelompok konstruktifdapat dimasukan pemikiran-pemikiran Heidegger, Gadamer, Ricoeur, dan Mary Hesse.

Donny Gahral Adian, seperti yang dikutip dalam www.filsafatkita.f2g.net, membedakan postmodernisme dari postmodernitas. Postmodernitas, tulisnya, merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan realitas sosial masyarakat postindustri. Masyarakat postindustri adalah masyarakat yang ekonominya telah bergeser dari ekonomi manufaktur ke ekonomi jasa di mana ilmu pengetahuan memainkan peranan sentral. Postmodernitas ini ditandai dengan fenomena-fenomena : negara bangsa pecah menjadi unit-unit yang lebih kecil atau melebur ke unit yang lebih besar, partai-partai politik besar menurun dan digantikan oleh gerakan-gerakan sosial (LSM-LSM), kelas sosial terfragmentasi dan menyebar ke kelompok-kelompok kepentingan yang memfokuskan diri pada gender-etnisitas-atau orientasi seksual, serta prinsip kesenangan dan dorongan mengkonsumsi yang menggantikan etika kerja yang menekankan disiplin, kerja keras, anti kemalasan, dan panggilan spiritual (kerja = ibadah). Sementara itu postmodernisme dimengertinya sebagai wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier.

Senada dengan Gahral Adian, Anthony Giddens ternyata juga membedakan postmodernisme (postmodernism) dari postmodernitas (postmodernity). Postmodernisme, jika sungguh-sungguh ada, menurut Giddens sebaiknya diartikan sebagai gaya atau gerakan di dalam sastra, seni lukis, seni plastik, dan arsitektur. Gerakan ini memperhatikan aspek-aspek aesthetic reflection dari modernitas. Sementara itu postmodernitas dimengertinya sebagai tatanan sosial baru yang berbeda dengan institusi-institusi modernitas. Namun, alih-alih menggunakan istilah postmodernitas, Giddens lebih suka menggunakan istilah “modernitas yang teradikalisasi” (radicalized modernity) untuk menggambarkan dunia kita yang mengalami perubahan hebat dan sedang melaju kencang bak Juggernaut yang tak bisa lagi dikendalikan, suatu dunia yang mrucut (runaway world). Alih-alih setuju dengan postmodernitas yang mewartakan berakhirnya epistemologi, Giddens lebih percaya bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah “modernitas yang sadar diri” .

Istilah postmodern menurut Sugiharto (2000) pertama kali muncul di bidang seni. Istilah ini dipakai pertama kali tahun 1930-an dalam karya Federico de Onis yang berjudul Antologia de la Poesia Esapanolaa Hispanoamericana, untuk menunjukan reaksi yang muncul dalam modernisme. Dalam bidang seni ini, beberapa kecenderungan khas biasanya diasosiasikan dengan postmodernisme. Postodernisme dalam pandangan ini berarti hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, tumbangnya batas antara budaya tinggi dan budaya pop, pencampuradukan gaya yang bersifat elektik, parodi, pastiche, ironi, kebermainan, dan merayakan budaya “permukaan” tanpa peduli pada “kedalaman” hilangnya orisinalitas.

Istilah modernisme dan postmodernisme juga digunakan dalam bidang sosial-ekonomi oleh Daniel Bell. Bell mengartikan postmodernisme sebagai kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersama dengan makin terbebasnya daya-daya insting dan kian meningkatnya kesenangan dan keinginan yang akhirnya membawa logika modernisme ke kutub terjauhnya.

Di wilayah kebudayaan, istilah postmodernisme dipakai oleh Frederick Jameson. Postmodernisme, menurut Jameson adalah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umum. Postmodernisme muncul berdasarkan dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan global kapitalisme masa kini.

Menurut Jean Baudrillard, jika modernitas ditandai oleh eksposi komodifikasi, mekanisasi, teknologi, dan pasar, maka masyarakat postmodern ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam) alias peleburan segala batas.

Dalam bidang filsafat, istilah postmodernisme diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotard. Pemikiran Lyotard berkisar pada posisi pengetahuan di abad ilmiah ini, yaitu bagaimana cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebut “metanarasi”, seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar, dan sebagainya. Bagi Lyotard, postmodernisme itu sepertinya adalah intensifikasi dinamisme, yaitu upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus menerus (Sugiharto, 2000).

Itulah beberapa pengertian dan pemahaman mengenai postmodernisme, dimana beberapa gagasan-gagasan dalam postmodernisme merupakan bentuk penolakan terhadap “kemapanan”, pencarian yang baru, dan penolakan terhadap pemisahan peran, tujuan atau hasil yang akan dicapai terhadap suatu kegiatan manusia.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, maka munculnya postmodernisme tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran sebelumnya yang beraliran postivisme dan antipositivisme. Postmodernisme sebagai pemikiran yang dekonstruktif terhadap pemikiran positivistime, banyak diilhami oleh pemikiran-pemikiran antipositivisme yang mengkritik positivisme.



4. Kesimpulan

Untuk mencari benang merah antara hubungan positivisme, antipositivisme, dan postmodernisme yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa postmodernisme muncul ketika pemikiran positivisme telah melahirkan situasi masyarakat yang disebut modern. Gambaran masyarakat pada jaman modern berikut tatatan sosialnya, ternyata melahirkan berbagai konsekuensi buruk bagi kehidupan manusia dan alam. Konsekuensi buruk ini, menurut pandangan postmodernisme adalah sebagai akibat pemikiran positivisme yang memisahkan peran manusia sebagai pembuat nilai-nilai kehidupan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, postmodernisme muncul sebagai gerakan pemikiran untuk mendobrak paham-paham positivisme. Beberapa kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh positivisme dengan modernisme-nya, dikritik oleh kaum postmodernis (antipositivitisme).

Konsekuensi buruk sebagai hasil pemikiran positivisme antara lain: pertama, pandangan dualisme yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual dan natural, manusia dan dunia, telah mengakibatkan objektivitas alam secara berlebihan dan pengurasan secara berlebihan. Akibat dari hal ini terjadi krisis lingkungan; Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivitas dan positivistis, akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Akibatnya, manusia tidak memiliki nilai kemanusiaan lagi; Ketiga, dalam postmodernisme ilmu-ilmu positif-empiris menjadi standar kebenaran tertinggi . Akibatnya terjadi disorientasi nilai-nilai moral dan religius, sehingga menimbulkan kekerasan, keterasingan, depresi mentasl, dan prustasi.

Postmodernisme muncul untuk memperbaiki itu semua. Postmodernisme ingin mengembalikan hakekat manusia sebagai manusia, dan ingin mengembalikan kembali harmonisasi antara manusia dan alam. Upaya terhadap itu semua, maka ilmu-ilmu yang dihasilkan harus sarat nilai, tidak terjadi dualisme objek-subjek, melainkan berbagi peran, sehingga ilmu yang dihasilkan berorientasi pada kepentingan kehidupan umat manusia.###

Daftar Bacaan

Anderson, Perry, 2004. Asal-usul Postmodernitas. Terjemahan: Robby H. Abror. Insight Reference, Jogjakarta.

Hasbiansyah, O., 2000. “Menimbang Positivisme”. dalam Jurnal Mediator. Vol. I No. 1. Unisba, Bandung.

Lyotard, Jean Francois, 2004. Posmodernisme:Krisis dan Masa Depan Pengetahuan. Terjemahan: Kamaludin. Penerbit TERAJU, Jakarta.

Klages, Mary, Dr., 2003. “Postmodernism”. Di situs www.colorado.edu/enslish/engl201klages/pomo.html. Diambil tanggal 24 Oktober 2005.

Safrudin, Irfan, 2004. “Etika Emansipatoris Jurgen Habermas: Etika Paradigmatik di Wilayah Paksis” dalam Jurnal Mediator. Vol 5 No. 1. Unisba, Bandung.

Schoorl, J.W., Prof. Dr., 1988. Modernisasi. Gramedia, Jakarta.

Sugiharto, Bambang I., 2000. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Kanisius, Jogjakarta.

Sumber lain: situs www.filsafatkita.f2g.net. Diambil tanggal 24 Oktober 2005.


Download file : pendekatan postmodernisme.pdf

Tidak ada komentar: